BERDIRINYA PERADABAN SUKU TAU TAA WANA DI PEGUNUNGAN TOKALA ADALAH TAMPARAN KERAS UNTUK UMAT ISLAM, KENAPA?

Perjuangan mencari saudara kita

Suku Tau Taa Wana berasal dari Pegunungan Tokala, Lambentana, Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Beberapa dari mereka sudah memiliki tempat tinggal untuk menetap. Sebagian lagi masih hidup secara nomaden atau berpindah-pindah dan belum memiliki rumah. Tim Mualaf Center Nasional Aya Sofya bersama dengan beberapa ormas Indonesia telah mengadakan pensyahadatan masal jilid 2 pada tanggal 8 November 2020. Kami juga melakukan pemberdayaan masyarakat agar lebih mandiri dan produktif.

Selama ini mereka hidup hanya mengandalkan hasil alam dengan mencari umbi-umbian di hutan untuk dimakan tanpa mengetahui khasiat dan kandungan gizinya. Meskipun begitu mereka jarang mengalami penyakit yang parah. Mungkin tubuhnya sudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Tapi tak sedikit pula dari mereka yang menderita beberapa penyakit seperti gizi buruk, kuningan, dan lain sebagainya. Mereka hidup jauh dari kenikmatan yang telah dirasakan oleh mayoritas masyarakat Indonesia, sungguh mengharukan.

Continue reading

NEGARA WANA: KAWASAN LUAR NEGERI, TAPI MILIK INDONESIA

Oleh: Ust. Ipung Atria

Salah satu hal yang sangat berkesan adalah ketika Allah hadirkan kami disuatu negeri nan jauh di sana. Negara Wana. Saat kami dipertemukan dengan saudara-saudara baru dari di kawasan yang indah seakan-akan berada di luar negeri. Lantaran mereka memiliki bahasa negara sendiri, yakni bahasa Taa.

Bahasa Indonesia adalah bahasa asing bagi mereka. Sehingga kami menggunakan bahasa kemanusiaan yang universal asalkan saling mengerti satu sama lain. Itulah mengapa daerah ini kami sebut sebagai: luar negeri.

Continue reading

PENGIRIMAN 2 UNIT CHAINSAW DARI MUALAF CENTER AYA SOFYA UNTUK SUKU TAU TAA WANA

Suku Tau Taa Wana merupakan suku pedalaman yang tinggal di pegunungan Tokala, Kab. Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Masyarakat pedalaman yang menjadi binaan Mualaf Center Aya Sofya. Kondisi Suku Tau Taa Wana sangat mengharukan dan jauh dari kenikmatan seperti yang kita peroleh dan rasakan saat ini. Mereka tinggal di gubuk reyot yang tidak layak disebut sebagai rumah manusia. Berdinding anyaman bambu dengan banyak lubang yang berpotensi sebagai jalan masuknya hewan liar dari hutan, bertiang kayu yang rapuh, serta beratapkan dedaunan kering.

Hanya memiliki satu petak sempit, dapur dan tempat untuk tidur menjadi satu. Pakaian dan peralatan dapur lainnya bergantungan dimana-mana, mereka tidak mempunyai bangku, lemari, jendela, bahkan pintu. Sungguh tidak layak disebut rumah bukan?

Continue reading