Pada kesempatan kali ini, kita akan mengkaji kembali salah satu babak penting dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu bagaimana upaya penjajah Belanda dalam memurtadkan masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Kajian ini dipaparkan oleh Ustaz Ahmad Kainama dalam program Kristologi di YouTube Channel Ayah Sofia Mualaf Center.
Misi Rahasia: Indonesia 100% Kristen
Ustaz Ahmad Kainama memulai kajiannya dengan menjelaskan bahwa kolonialisme Belanda bukan semata-mata bertujuan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, namun juga memiliki misi ideologis: menjadikan Indonesia 100% Kristen. Misi ini dilakukan dengan sistematis melalui upaya kristenisasi dan program pemurtadan yang terorganisir.
Menurut Ustadz Kainama, banyak yang mempertanyakan mengapa istilah seperti pemurtadan, kristenisasi, dan misionaris begitu sering disoroti. Padahal, ini bukan tuduhan tak berdasar, tetapi fakta sejarah yang dapat dibuktikan secara ilmiah dan historis. Kristologi, menurut beliau, hadir bukan untuk memprovokasi, tetapi sebagai bentuk keterbukaan agar setiap umat beragama dapat memahami latar belakang sejarah hubungan antaragama secara jujur dan objektif. Penjajah Belanda bertujuan memurtadkan Indonesia sudah terlihat jelas dari tndakan-tindakan yang mereka lakukan.
Mengapa Umat Islam yang Menjadi Target?
Pertanyaan penting yang diajukan adalah: mengapa penjajah Belanda ingin memurtadkan Islam serta menjadikannya sebagai target utama , dan bukan umat Hindu, Buddha, atau penganut kepercayaan lainnya?
Jawabannya jelas: karena hanya umat Islam yang memiliki kekuatan spiritual dan sosial yang mampu menjadi penghalang besar bagi sistem kolonialisme. Umat Islam dikenal taat kepada perintah Allah, mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW, serta memiliki semangat cinta tanah air dan ketaatan kepada pemimpin serta hukum negara. Hal ini menjadikan umat Islam sebagai tembok terakhir yang kokoh dalam menghadang dominasi penjajahan.
Jika umat Islam tidak berhasil dikristenkan, maka upaya penjajahan akan terus menemui hambatan serius, baik dari aspek ideologi, sosial, maupun moral.
Kolonialisme Tak Pernah Sukses di Negeri Mayoritas Muslim
Ustaz Ahmad menekankan bahwa sejarah membuktikan: kolonialisme tidak pernah benar-benar berhasil di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya Muslim. Bahkan jika secara fisik wilayah tersebut dijajah, kekuatan moral dan spiritual umat Islam tetap menjadi kekuatan resistensi utama.
Sebaliknya, negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan Muslim atau yang tidak memiliki keteguhan iman, meskipun tampak modern dan mewah, pada kenyataannya mengalami kehancuran moral, politik, sosial, bahkan pertahanan dan keamanan. Ini adalah dampak dari hilangnya nilai-nilai spiritual dan moral dalam kehidupan mereka.
Data Sejarah: Awal Mula Pemurtadan oleh Belanda
Sejak abad ke-16 hingga ke-17, jauh sebelum Indonesia merdeka, Belanda telah menanamkan fondasi kolonialisme berbasis ideologi agama. Nusantara pada masa itu dikenal dengan nama Hindia Timur. Pemerintah Belanda, melalui lembaga dagangnya yang dikenal sebagai VOC, menjalankan misi kolonialisme dengan skema yang sangat jelas: menjadikan Indonesia sebagai negeri Kristen. Dalam hal ini, penjajah Belanda berusaha memurtadkan semua orang Islam di Indonesia.
Program ini bukan hanya untuk menyebarkan agama, tetapi untuk melemahkan semangat nasionalisme dan cinta tanah air dari masyarakat asli Indonesia. Dengan menjadikan mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Kristen, penjajahan menjadi lebih mudah karena masyarakat akan patuh dan tunduk kepada otoritas asing.
Lebih dari itu, kekayaan alam dan sumber daya manusia Indonesia dapat dengan mudah dieksploitasi tanpa perlawanan berarti. Strategi ini dianggap lebih murah dan efektif ketimbang harus menggunakan kekuatan militer besar-besaran.
Salah satu aspek paling penting dari misi penjajahan Belanda di Indonesia adalah usahanya menjadikan agama Kristen sebagai fondasi utama kekuasaan. Dalam strategi kolonial, kekristenan dijadikan alat politik dan sosial untuk memperkuat kontrol terhadap masyarakat lokal. Mengapa kekristenan menjadi pilihan utama? Karena jika satu wilayah telah dikristenkan secara menyeluruh, para penjajah akan dengan mudah menurunkan pemimpin-pemimpin gerejawi yang tunduk kepada kekuasaan kolonial.
Ikon Agama Kristen
Salah satu hal yang ditekankan adalah fenomena psikologis yang muncul akibat ikonografi agama Kristen. Ketika rakyat Indonesia menerima kekristenan, mereka juga secara tidak langsung menerima citra Yesus versi Barat, berwajah bule. Maka, jika seorang pemimpin gereja datang dengan penampilan serupa gambar-gambar Yesus, rakyat yang telah terbiasa dengan simbol tersebut akan lebih mudah tunduk dan tidak berani membantah. Inilah bentuk kontrol yang sangat halus namun efektif dalam memuluskan misi penjajahan.
Namun, kehendak Allah memperlihatkan jalan yang berbeda. Islam hadir dan mengakar kuat di nusantara, membentuk identitas yang kokoh, terutama dalam hal kecintaan kepada tanah air dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam bukan sekadar agama, melainkan kekuatan sosial dan budaya yang mampu meredam dominasi penjajah, bahkan menjadi penghalang besar bagi sistem kolonial.
Data Statistik yang Membuktikan
Untuk memahami sejauh mana keberhasilan misi Kristenisasi, mari kita lihat data statistik pemeluk agama di Indonesia berdasarkan catatan resmi tahun 2023 dan 2024. Berdasarkan data dari sistem kecerdasan buatan yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber internet resmi, angka-angka ini menjadi bukti konkret atas kenyataan di lapangan:
Tahun 2023:
Islam: 87,8%
Kristen: 10,48%
Tahun 2024:
Islam: 87,2%
Kristen: 6,9%
Terjadi penurunan signifikan jumlah pemeluk Kristen hanya dalam waktu satu tahun, turun sekitar 3%. Ini adalah fakta mencolok yang membantah narasi bahwa misi Kristenisasi di Indonesia berhasil secara masif atau bahwa banyak umat Islam yang murtad. Sebaliknya, data ini menunjukkan kegagalan total dalam satu tahun terakhir.
Mengapa bisa begitu? Karena kebenaran Islam dan realitas ajaran Kristen kini semakin terbuka untuk dipelajari. Masyarakat makin cerdas dalam menilai, memahami, dan memilih jalan hidup keagamaannya. Mereka yang mempelajari Islam secara mendalam justru menemukan nilai-nilai kebenaran yang kokoh dan rasional dalam ajarannya. Sebaliknya, banyak dari mereka yang semula berada dalam lingkungan Kristen mulai menyadari ketidaksesuaian antara praktik hidup dan ajaran agama mereka, sehingga memilih berpaling.
Saudaraku Muslimin dan Muslimah yang dirahmati Allah, banyak dari kita mungkin pernah mendengar isu-isu yang mengatakan bahwa jutaan umat Islam murtad setiap tahun. Namun data menunjukkan sebaliknya. Tidak ada bukti kuat yang mendukung klaim tersebut. Di era digital seperti sekarang, kebenaran lebih mudah ditemukan. Informasi terbuka, dan masyarakat semakin cerdas memilah kebenaran dari kebohongan. Kebenaran akan selalu menemukan jalannya sendiri.
Konsep “God, Glory, and Gold”: Strategi Penjajahan yang Terstruktur
Dalam dunia akademik, khususnya dalam pelajaran Human Geography, ada satu istilah penting yang merangkum semangat kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa, yaitu “God, Glory, and Gold.” Istilah ini menjelaskan tiga motivasi utama yang mendorong bangsa Eropa menjelajahi dunia dan menjajah berbagai wilayah, termasuk Nusantara:
1. God (Tuhan): Misi penyebaran agama Kristen yang dibalut dengan semangat pekabaran Injil, namun sejatinya adalah kristenisasi. Ini bukan sekadar penginjilan, melainkan strategi sistematis untuk mengubah keyakinan penduduk lokal agar lebih mudah dikendalikan.
2. Glory (Kemuliaan): Setelah masyarakat menerima agama dan pengaruh budaya penjajah, mereka menjadi tunduk. Penjajah pun mendapatkan “kemenangan” secara sosial dan politik. Rakyat dijauhkan dari semangat perlawanan karena merasa dijajah bukan oleh bangsa asing, tapi oleh “utusan Tuhan”.
3. Gold (Emas): Setelah berhasil menguasai akal dan jiwa masyarakat, barulah penjajah mengeksploitasi kekayaan alam. Sumber daya seperti tambang, hasil bumi, hutan, hingga laut dikuras habis demi keuntungan para kolonialis.
Penjajahan dengan strategi “God, Glory, and Gold” tidak dilakukan sembarangan. Indonesia, dengan tanahnya yang subur, iklim tropis yang stabil, dan posisi geografis yang strategis, dianggap sebagai lumbung makanan dunia. Ketika banyak wilayah lain rusak oleh perang, bahan kimia, dan nuklir, Indonesia tetap menawarkan harapan bagi masa depan pangan global.
Belanda dan penjajah lainnya melihat potensi besar ini sejak lama. Maka, tak heran jika kristenisasi di Indonesia begitu masif. Tapi bukan karena tujuan spiritual, melainkan karena Indonesia adalah “tambang emas” yang sangat berharga. Dalam skema kolonial, langkah pertama adalah kristenisasi, dimana penjajah Belanda harus memurtadkan agama apapun di Indonesia. Hal ini agar rakyat dapat ditipu dengan narasi bahwa mereka tidak dijajah, tetapi “diselamatkan”.
Kristenisasi Adalah Penjajahan, Bukan Dakwah
Perlu dipahami secara jernih: kristenisasi bukanlah bentuk dakwah seperti dalam Islam. Ini adalah instrumen penjajahan. Hal ini ditegaskan dalam sumber resmi pelajaran AP Human Geography yang banyak digunakan dalam kurikulum akademik internasional. Di sana dijelaskan bahwa Christianization adalah proses yang terkait langsung dengan kolonisasi. Artinya, siapa pun yang murtad dari Islam karena proses kristenisasi, sebenarnya adalah korban penjajahan. Mereka bukan berpindah agama karena pilihan spiritual murni, melainkan karena efek tekanan sistemik dari strategi kolonial.
Pada bagian sebelumnya, kita telah membahas bagaimana istilah God, Glory, Gold menjadi kerangka kerja dari proyek kolonialisme Eropa, termasuk di Nusantara. Dalam lanjutan pembahasan ini, kita akan mengupas lebih dalam bagaimana proses kristenisasi menjadi bagian tak terpisahkan dari penjajahan, berdasarkan data ilmiah dari sumber-sumber akademik Kristen sendiri.
Kristenisasi Bukan Murni Dakwah Agama
Satu hal penting yang perlu dipahami bersama, bahwa perpindahan seseorang dari Islam ke Kristen semestinya, jika terjadi, berangkat dari pencarian ilmu atau keyakinan personal, bukan karena kristenisasi sistemik. Ini bukanlah tuduhan ataupun fitnah, tetapi disandarkan pada fakta sejarah. Dari AP Human Geography, kristenisasi disebut secara eksplisit sebagai “proses mengubah individu atau kelompok menjadi Kristen yang sejalan dengan motivasi Tuhan dalam eksplorasi dan kolonisasi.” Kata “kolonisasi” di sini tak lain berarti penjajahan.
Dengan demikian, jika seseorang murtad dari Islam dan masuk Kristen akibat dari program kristenisasi, maka dia adalah korban dari penjajahan, bukan sekadar perubahan kepercayaan. Ini bukanlah kata kami, melainkan diambil langsung dari literatur akademik Barat yang bisa diverifikasi. Sudah saatnya kita memisahkan antara dakwah yang murni dan proyek penjajahan berkedok agama.
Jejak Calvinisme dalam Penjajahan Belanda
Selanjutnya kita meninjau bukti sejarah yang lebih spesifik: Calvinism in the Dutch Empire—sebuah kajian yang diterbitkan oleh kalangan akademik Kristen sendiri. Dalam buku Global Calvinism karya Charles H. Parker, profesor sejarah di Saint Louis University, dipaparkan bahwa sejak awal 1600-an, misionaris Calvinis sudah menyertai kapal-kapal dagang Belanda ke Asia, Afrika, dan Amerika.
Mereka bukan hanya mendampingi secara spiritual, tetapi menjalankan misi untuk “mencegah para pekerja menjadi mangsa agama-agama lain dan untuk mengubah kafir dan/atau Muslim menjadi Kristen Protestan.” Artinya, penyebaran agama ini bukan sekadar dakwah, tetapi bagian dari rencana besar menaklukkan tanah jajahan dengan justifikasi religius.
Penistaan dan Penghinaan terhadap Islam sejak Abad ke-17
Penting untuk dicatat bahwa penghinaan terhadap Islam bukanlah fenomena baru. Dari kutipan sejarah dalam sumber-sumber tersebut, Islam sejak abad ke-17 sudah disebut sebagai agama palsu, dan umat Islam dijuluki “savage” (barbar). Ini menunjukkan bahwa narasi kebencian sudah tertanam sejak awal, bukan sekadar karena konflik masa kini.
Bahkan dalam catatan misionaris mereka sendiri, umat Islam disebut sebagai “kafir” dan penghalang utama proyek kolonial. Maka dari itu, penting bagi umat Islam di Indonesia, terutama para mualaf, untuk memahami bahwa penistaan terhadap Islam sudah menjadi bagian dari strategi penjajahan sejak lama.
Kembali pada Persatuan dan Kesadaran Sejarah
Kami dari Mualaf Center Ayasofia ingin menyerukan bahwa tujuan kami bukan untuk menyebarkan kebencian, tetapi untuk mengembalikan kerukunan dan membangun pemahaman berdasarkan fakta sejarah. Orang Islam telah terbukti sebagai umat yang toleran. Buktinya, hubungan antara Islam dengan umat Buddha, Hindu, dan Konghucu selama ratusan tahun berjalan dengan damai.
Namun jika proyek kristenisasi yang mengandung unsur penindasan dan penghinaan tetap dilanjutkan, maka sulit bagi bangsa ini untuk hidup dalam harmoni. Kita perlu sama-sama menyadari bahwa akar konflik terletak pada sejarah kolonialisme yang belum dikaji secara jujur oleh banyak pihak.
Mari kita sebarkan pemahaman ini, bukan dengan emosi, tapi dengan data dan literatur yang sah. Mari kita bangkitkan kembali kesadaran umat Islam di negeri ini bahwa kristenisasi adalah bagian dari penjajahan, dan penjajahan dalam bentuk apa pun harus kita lawan.
Sejarah panjang penjajahan Belanda di Indonesia tidak hanya meninggalkan warisan politik dan ekonomi, tetapi juga jejak-jejak strategi adu domba dalam urusan agama, khususnya terhadap umat Islam. Sebuah fakta yang jarang diketahui publik luas adalah bagaimana para zendeling (misionaris) Belanda secara sistematis merancang berbagai cara untuk memecah belah umat Islam sejak pertengahan abad ke-19.
Pada tahun 1847, Belanda telah mulai melancarkan taktik-taktik halus namun berbahaya untuk melemahkan kekuatan Islam di Nusantara. Mereka menyadari bahwa kekuatan Islam bukan hanya pada jumlah pemeluknya, tetapi juga pada kesatuan pemikiran dan struktur sosial yang mengakar kuat di masyarakat. Oleh karena itu, mereka mulai menciptakan berbagai isu untuk memicu perpecahan.
Isu-isu Pemecah Belah: Dari Arah Kiblat hingga Dewa Bulan
Salah satu strategi awal mereka adalah menciptakan perdebatan di kalangan umat Islam mengenai arah kiblat. Seolah-olah masalah ini teknis belaka, namun dampaknya sangat besar dalam memunculkan perbedaan pandangan yang berpotensi mengarah pada konflik horizontal. Isu lainnya bahkan lebih kontroversial, seperti menyebarkan narasi bahwa Allah adalah dewa bulan, sebuah tuduhan yang diangkat agar umat Islam meragukan ajarannya sendiri.
Strategi ini terus berkembang. Umat Islam diadu antara kelompok pribumi dengan habaib (keturunan Arab), dan bahkan antarormas Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Perpecahan ini disusupi kepentingan duniawi seperti jabatan dan kekuasaan, yang semakin menjauhkan umat dari persatuan sejati. Fenomena saling maki dan tuduh pun sudah terjadi sejak masa itu, bukan baru-baru ini saja.
Pengakuan dari Literatur Belanda: Kegagalan Misi Kristenisasi
Yang menarik, para pemikir dan penulis misionaris Belanda sendiri pada akhirnya mengakui kegagalan misi mereka dalam mengkristenkan umat Islam. Dalam artikel tahun 1936 yang diterbitkan oleh kalangan misionaris, disebutkan bahwa mereka mulai mempertanyakan penyebab kegagalan tersebut. Salah satu analisis tajam datang dari Hendrik Kraemer, seorang islamolog yang juga dikenal di kalangan orientalis. Ia mengkritik arogansi para misionaris dan menyoroti bahwa pendekatan mereka tidak menyentuh akar budaya masyarakat Muslim.
Dalam salah satu tulisan, terdapat pepatah menarik yang menggambarkan keputusasaan mereka:
“Pohon kekafiran tidak akan tumbang di hadapan gagang kapak yang terbuat dari kayunya sendiri.”
Pepatah ini menyiratkan bahwa mereka menyadari: untuk menggoyahkan Islam, mereka harus menggunakan elemen dari dalam Islam itu sendiri. Artinya, mereka berusaha memunculkan ‘kapak’ dari ‘kayu’ Islam, orang Islam sendiri yang dibentuk untuk melemahkan agamanya, melalui ideologi, pendidikan, atau bahkan perpecahan.
Editor majalah yang memuat artikel tersebut bahkan merasa perlu memberi catatan bahwa ia tidak sepenuhnya setuju dengan isi tulisan tersebut, menunjukkan adanya pergolakan intelektual bahkan di kalangan mereka.
Islam Tak Akan Runtuh, Kecuali dari Dalam
Sayangnya, strategi penjajah Belanda dalam memurtadkan itu kini terasa kembali. Umat Islam masih terus diadu, baik oleh kepentingan politik maupun ideologi, hingga tidak sadar bahwa mereka sedang menjalankan skenario lama kolonialisme: perpecahan internal. Ketika sesama Muslim saling mencurigai, saling menghujat, dan memecah barisan, di situlah kapak mulai menebas dari dalam.
Sejarah ini harus menjadi cermin bagi kita semua. Jika para misionaris kolonial saja akhirnya mengakui bahwa Islam tidak bisa dihancurkan dari luar, maka satu-satunya jalan mereka adalah dari dalam.
Mengungkap Strategi Pemurtadan Lewat Program C1–C6: Ancaman Nyata terhadap Umat Islam
Setelah berulang kali gagal dalam proyek pemurtadan langsung, upaya penjajah Belanda memurtadkan orang muslim berikutnya dilakukan secara halus dan sistematis.Salah satu program yang kini terungkap adalah C1–C6 Spectrum Development yang dikembangkan oleh John Travis. Program ini bukan sekadar teori, melainkan strategi lapangan yang sedang dijalankan aktif di beberapa negara Muslim, termasuk Indonesia, dengan target akhir pada tahun 2027 atau 2028.
Apa Itu Program C1–C6?
Program ini membagi strategi misi menjadi enam level pendekatan terhadap umat Islam. Setiap tingkatan memiliki karakteristik dan target yang berbeda-beda, disesuaikan dengan konteks sosial dan budaya masyarakat yang dituju. Berikut penjelasan setiap levelnya:
C1: Gereja Asing di Negeri Muslim
Di level C1, para misionaris mendirikan gereja dengan budaya dan bahasa mereka sendiri. Gereja-gereja ini biasanya tidak memiliki keterikatan dengan kultur lokal dan tampak asing bagi masyarakat sekitar. Mereka tidak peduli apakah gereja itu ramai atau sepi, yang penting berdiri di tengah-tengah lingkungan Muslim. Jika umat Islam memprotes, mereka langsung dituding intoleran dan anti-kebebasan beragama.
C2: Gereja Asing dengan Bahasa Lokal
Level ini sedikit lebih canggih dibanding C1. Penjajah Belanda berusaha memurtadkan tetap dengan tampilan asing, tetapi menggunakan bahasa lokal dalam ibadahnya. Tujuannya adalah agar lebih diterima masyarakat sekitar dan tidak terkesan asing. Strategi ini kerap dimainkan untuk menimbulkan simpati dan kemudian memancing narasi “umat Islam intoleran” ketika muncul penolakan dari warga.
C3: Gereja Kontekstual dengan Budaya Lokal
Pada tingkatan ini, para misionaris mulai memasukkan elemen-elemen budaya lokal seperti pakaian tradisional, alat musik daerah seperti gamelan, dan seni pertunjukan ke dalam kegiatan gereja. Mereka tidak menggunakan simbol-simbol Islam, tetapi berusaha menyatu dengan kultur sekitar agar terlihat akrab dan bersahabat. Gereja-gereja di Jawa yang menggunakan gamelan dan menyanyikan lagu-lagu pujian dalam bahasa Jawa adalah contoh nyata dari C3 ini.
C4: Meniru Praktik Islam
Di C4, taktik semakin dalam: mereka mulai mengadopsi simbol-simbol dan praktik Islami, seperti tidak makan babi, memakai pakaian Muslim, menggunakan istilah-istilah Islam, dan berdoa dengan gaya yang menyerupai Muslim. Namun, mereka tidak mengakui diri sebagai Muslim, melainkan sebagai “pengikut Isa.” Peribadatan pun tidak dilakukan di gereja tradisional, melainkan di rumah-rumah atau tempat netral.
Program ini dirancang sedemikian rupa agar tidak lagi menabrak dinding keras umat Islam secara frontal. Dengan menyusup melalui budaya, sosial, bahkan simbol-simbol keagamaan, mereka berharap pemurtadan bisa berjalan secara alamiah. Sayangnya, banyak dari kita belum menyadari bahwa program ini sudah berjalan—bahkan dengan dukungan dana besar dari lembaga-lembaga keagamaan internasional.
Lebih berbahaya lagi, program ini tidak hanya menyasar masyarakat awam, tapi juga merangkul elit-elit lokal yang tergiur dengan uang, kekuasaan, atau fasilitas. Perpecahan yang timbul dalam tubuh umat Islam seringkali merupakan hasil adu domba sistematis yang telah dirancang sejak lama, sejak zaman kolonialisme Belanda.
Pada tahap C4, para misionaris telah masuk lebih dalam ke dalam komunitas Muslim. Mereka tidak hanya memakai pakaian Islami seperti gamis, kopiah, bahkan jilbab, tetapi juga mulai menggunakan istilah-istilah keislaman dalam narasi mereka. Misalnya, Alkitab disebut Al-Kitab, dan Yesus disebut Isa Al-Masih.
Contoh di lapangan bisa kita lihat dalam bentuk konten-konten YouTube yang dibuat oleh mereka yang mengaku sebagai mantan ustaz, lulusan pesantren, bahkan alumni Timur Tengah, tapi justru menghujat Islam. Mereka mengenakan atribut Islami, namun di baliknya tersembunyi salib di leher dan doktrin Kristen di balik sorban. Inilah yang disebut MPP – Mualaf Pura-Pura.
C5: Misionaris yang Menyamar sebagai Muslim
Pada tahap C5, para misionaris mulai berbaur lebih dalam. Upaya penjajah Belanda memurtadkan kaum muslim ini sangat terlihat sempurrna. Mereka mengaku sebagai Muslim, bahkan sampai mengikuti syariat-syariat tertentu seperti tidak makan babi dan disunat. Namun, mereka tidak menjalankan kewajiban pokok Islam seperti shalat, puasa, dan belajar agama. Mereka aktif di komunitas Muslim, tapi menyebarkan ajaran bahwa dirinya adalah “Muslim pengikut Isa Al-Masih”.
Mereka tetap bergaul erat dengan para pendeta dan ikut menghujat Islam, meskipun secara lahiriah mereka terlihat seperti Muslim. Bahkan, mereka sering mengeluh kepada lembaga-lembaga mualaf untuk mendapatkan bantuan finansial, tapi tujuannya hanya materi. Identitas Muslim hanya dijadikan alat untuk melanggengkan misi mereka.
C6: Identitas Ganda dan Rahasia
Tahap yang paling ekstrem adalah C6. Para misionaris di tahap ini menyembunyikan identitas Kristen mereka secara total dan hidup sepenuhnya sebagai Muslim – bahkan memiliki KTP Islam, menikah secara Islam, dan ikut kegiatan keagamaan Islam.
Namun di balik itu semua, mereka tidak benar-benar meyakini Islam. Mereka merahasiakan keyakinan Kristen mereka karena takut terhadap penganiayaan, tekanan sosial, atau alasan-alasan hukum. Mereka tidak membagikan keyakinannya secara terbuka dan bahkan menolak dipublikasikan sebagai mualaf. Ini adalah bentuk infiltrasi paling halus dan berbahaya.
Kenapa Harus Waspada?
Program C1–C6 bukan sekadar strategi misionaris biasa, tetapi bentuk pemurtadan terselubung yang sangat sistematis dan didanai besar-besaran oleh gereja-gereja dunia. Bahkan, target penyelesaian program ini diperpanjang hingga tahun 2027–2028 karena sebelumnya sering gagal ketika umat Islam kembali pada ukhuwah dan kesadaran iman mereka.
Program ini membuktikan bahwa perang terhadap Islam tidak selalu menggunakan senjata, tapi lewat infiltrasi budaya, pendidikan, media sosial, bahkan pernikahan dan bantuan kemanusiaan.
Sebagai umat Islam, kita harus lebih peka terhadap gerakan-gerakan seperti ini. Jangan mudah percaya pada mereka yang mengaku mualaf tapi menolak dipublikasikan. Upaya Penjajah Belanda untuk memurtadkan orang Islam tidak bisa diremehkan. Jangan langsung menerima mereka yang tidak menjalankan rukun Islam tapi meminta bantuan sebagai “saudara baru”.
Mualaf Center Nasional AYA SOFYA Indonesia Adalah Lembaga Sosial. Berdiri Untuk Semua Golongan. Membantu dan Advokasi Bagi Para Mualaf di Seluruh Indonesia. Dengan Founder Ust. Insan LS Mokoginta (Bapak Kristolog Nasional).
ANDA INGIN SUPPORT KAMI UNTUK GERAKAN DUKUNGAN BAGI MUALAF INDONESIA?
REKENING DONASI MUALAF CENTER NASIONAL AYA SOFYA INDONESIA
BANK MANDIRI 141-00-2243196-9
AN. MUALAF CENTER AYA SOFYA
SAKSIKAN Petualangan Dakwah Seru Kami Di Spesial Channel YouTube Kami:
MUALAF CENTER AYA SOFYA
MEDIA AYA SOFYA
Website: www.ayasofya.id
Facebook: Mualaf Center AYA SOFYA
YouTube: MUALAF CENTER AYA SOFYA
Instagram: @ayasofyaindonesia
Email: ayasofyaindonesia@gmail.com
HOTLINE:
+62 851-7301-0506 (Admin Center)
CHAT: wa.me/6285173010506
+62 8233-121-6100 (Ust. Ipung)
CHAT: wa.me/6282331216100
+62 8233-735-6361 (Ust. Fitroh)
CHAT: wa.me/6282337356361
ADDRESS:
MALANG: INSAN MOKOGINTA INSTITUTE, Puncak Buring Indah Blok Q8, Citra Garden, Kota Malang, Jawa Timur.
PURWOKERTO: RT.04/RW.01, Kel. Mersi, Kec. Purwokerto Timur., Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
SIDOARJO: MASJID AYA SOFYA SIDOARJO, Pasar Wisata F2 No. 1, Kedensari, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.
SURABAYA: Purimas Regency B3 No. 57 B, Kec. Gn. Anyar, Kota SBY, Jawa Timur 60294.
TANGERANG: Jl. Villa Pamulang No.3 Blok CE 1, Pd. Benda, Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten 15416
BEKASI: Jl. Bambu Kuning IX No.78, RT.001/RW.002, Sepanjang Jaya, Kec. Rawalumbu, Kota Bks, Jawa Barat 17114