KAJIAN KEISLAMAN MUALAF CENTER ACEH: KISAH-KISAH ISTIMEWA ALI BIN ABI THALIB RA.

Mualaf Center Aceh akan membahas mengenai kisah sahabat Rasulullah yang tidak akan ada habisnya. Banyak sekali pelajaran yang dapat kita peroleh saat mempelajari kisah hidup mereka. Begitu pula dengan salah satu sahabat Rasulullah ini, yakni Ali bin Abi Thalib. Beliau memiliki banyak kisah unik dan penuh nilai-nilai positif yang dapat diambil. Beliau juga merupakan sahabat yang luar biasa penuh kemuliaannya sebagaimana 3 sahabat Rasulullah lainnya (Abu Bakar, Umar, dan Usman).

Terlebih lagi beliau adalah sepupu Rasulullah dari Ahlul Bait yang sangat mulia. Ali bin Abi Thalib mendapatkan predikat dari Rasulullah dari Perang Khaibar yakni sebagai orang yang mencintai Allah dan Rasulnya begitu pula Allah dan Rasul juga mencintainnya.

Kisah pertama, Ali bin Abi Thalib dan unta betina besar bewarna merah

Perna suatu waktu dalam suatu kisah bahwa Ali bin Abi Thalib pulang ke rumahnya kemudian mengatakan kepada istrinya yaitu Fatimah binti Muhammad dengan berkata: “Wahai Fatimah, apakah ada makanan?”, Fatimah mengatakan: “Tidak ada makanan”, Ali bin Abi Thalib berkata: “Apakah ada uang yang bisa kita belanjakan?”, kata Fatiman: “Ada, hanya saja sisa dua Dirham”. Ali bin Abi Thalib berkata: “berikanlah kepada saya, akan saya belikan makanan. Paling tidak agar Hasan dan Husain bisa makan”.

Ali bin Abi Thalib pun membawah uang 2 dirham itu ke Pasar untuk membeli makanan, saat diperjalanan beliau bertemu dengan seorang fakir miskin di pinggir jalan. Fakir miskin itu melihat keberadaan Ali bin Abi Thalib dan berkata: “Wahai ayahnya Hasan, demi Allah saya 3 hari belum makan. Bantulah saya”. Melihat hal itu membuat Ali bin Abi Thalib berfikir bahwa beliau hanya belum makan pada hari ini, sedangkan orang fakir miskin itu sudah 3 hari tidak makan. Kalau uang 2 dirham ini dibagi dua, maka tidak akan cukup untuk keluarganya dan tidak cukup pula untuk orang itu. Beliaupun pada akhirnya memberikan 2 dirham itu kepada fakir miskin.

Padahal pada hari itu sudah tidak memiliki uang lagi dan tidak ada makanan di rumahnya. Beliau akhirnya pulang ke rumah. Melihat Ali bin Abi Thalib pulang dengan tangan kosong maka Fatimah berkata: “Wahai Abi, dimanakah makanannya?”. Beliau pun menceritakan kisahnya kepada Fatimah.

Mendengar cerita dari Ali bin Abi Thalib membuat Fatimah menangis dan berkata: “Wahai Abi, paling tidak Hasan dan Husain bisa makan, bagaimana bisa kau berikan kepada orang lain?”. Mendengar hal itu Ali bin Abi Thalib berkata: “Sabarlah wahai istriku, saya akan mendatangi Rasulullah mungkin beliau memiliki makanan”.

Kemudian Ali bin Abi Thalib pun segera mendatangi rumah Rasulullah, tetapi ditengah jalan tiba-tiba lewatlah seseorang Ansor dari Madina yang membawah unta betina besar bewarna merah dan menyapa Ali dengan berkata: “Assalamualaikum wahai abbah Hasan. Saya memiliki unta yang bagus, apakah engkau ingin membelinya?”. Kata Ali: “iya, saya ingin membelinya tapi tidak memiliki uang”. Orang Ansor itupun berkata menanggapi perkataan Ali: “Tidak apa-apa jika ingin engkau beli dan bayarlah nanti jika sudah ada uang”. Ali pun berkata: “Berapakah harga unta itu?”. Orang Ansor itupun bekata: “belilah seharga 20 Dirham”.

Pada umumnya harga unta itu adalah 40 dirham tetapi dibeli oleh Ali seharga 20 dirham dengan kesepakatan akan dibayar ketika sudah memiliki uang. Kemudian Ali membawa unta itu ke rumah Rasulullah. Tetapi baru berjalan beberapa langka beliau bertemu dengan orang Ansor lainnya yang hendak membeli unta tersebut.

Orang Ansor lainnya itu berkata: “Wahai abbah Hasan, untamu sangat bagus. Berapakah harga yang kau tawarkan jika aku hendak membelinya?”. Ali pun menjawab jika beliau akan menjualnya di harga 40 Dirham. Tanpa banyak penawaran dan berfikir panjang, orang Ansor itu langsung membelinya. Ali bin Abi Thalib bergegas mengejar pemilik unta sebelumnya untuk membayar 20 Dirham.

Sehingga pada saat itu Ali bin Abi Thalim memiliki 20 Dirham. Jika sebelumnya beliau memberikan 2 dirham kepada fakir miskin maka Allah memberinya 10 kali lipat. Maka dengan uang itu beliau bisa memberikan makanan untuk keluarganya selama sebulan. Inilah keikhlasan dan keyakinan beliau yang percaya bahwa Allah tidak mungkin membuat dirinya kelaparan jika sudah bershadaqah di jalan Allah.

Kisah kedua, Ali bin Abi Thalib kehilangan baju perang

Ali bin Abi Thalib di zaman kekhalifahannya suatu waktu perna kehilangan baju perang. Beliau sudah berkeliling mencarinya selama beberapa hati tetapi tidak menemukannya. Pada saat itu beliau sudah tinggal di Kufa, sebagaimana Ali bin Abi Thalib di akhir hidupnya tinggal di Kufa. Ketika beliau sedang berjalan di pemukiman masyarakat ternyata dia menemukan baju perang sedang di jemur di rumah seorang Yahudi.

Saat itu Ali bin Abi Thalib sangat yakin bahwa itu adalah baju perang miliknya tapi beliau tidak langsung mengambilnya melainkan mengetuk rumah orang Yahudi itu terlebih dahulu dan berkata: “Wahai Yahudi, siapakah pemilik baju perang itu?”. Orang Yahudi itupun berkata: “Jelas itu milik saya, wahai Amirul Mukminin”. Ali bin Abi Thalib pun menanggapi penyataan orang Yahudi itu bahwa itu adalah baju miliknya dan beliau juga menyebutkan beberapa tanda dalam baju perang itu. Tetapi orang Yahudi itu tetap mengelak dengan berkata: “Wahai Amirul Mukmini, sudah jelas baju ini ada di rumah saya maka itu berarti adalah baju perang saya”.

Berawal dari ditemukannya baju perangnya, ada 3 hal yang membuat orang Yahudi itu pada akhirnya bersyahadat dan masuk Islam, yakni:

1. Pada saat itu Ali bin Abi Thalib berkata: “Baiklah kalau begitu, kita akan kepengadilan saja”. Padahal pada saat itu beliau adalah raja, beliau bisa saja merampasnya dari orang Yahudi itu. Tapi agama Islam tidak mengajarkan demikian. Hal itu nyatanya membuat orang Yahudi bingung karena menurutnya Ali adalah seorang Raja dan akan melawan rakyat biasa di pengadilan. Begitupun terheran dengan perilaku Ali bin Abi Thalib yang baik hati dan ramah, serta tidak ada perasaan benci ketika mereka hendak pergi kepengadilan bersama-sama. Nyatanya hal itu pada mulanya yang membuat orang Yahudi itu kagum kepada sosok Ali bin Abi Thalib.

2. Ketika hendak memasuki pengadilan Ali bin Abi Thalib memberikan salam untuk seluru umat Islam dalam pengadilan itu dan salamnya dijawab oleh seluruh umat Islam yang hadir, hanya saja saat menjawab salam tidak ada yang berdiri selayaknya memberi hormat kepada raja. Begitu pula dengan hakim pada saat itu bernama Syuraih Al-Qadhi yang terkenal dengan keadilannya mengatakan kepada Ali bin Abi Thalib: “wahai Amirul Mukminin, silahkan menunggu giliranmu di belakang”. Hal kedua ini nyatanya juga membuat orang Yahudi kebingungan, bagaimana bisa seorang raja disuruh untuk menunggu sampai gilirannya tiba. Hal itu menambah kekaguman orang Yahudi kepada sosok Ali bin Abi Thalib.

3. Waktu tiba gilirannya maka hakim Syuraih Al-Qadhi bertanya: “Wahai Amirul Mukminin, ada apa engkau datang kemari?”. Saat ditanya oleh hakim, Ali bin Abi Thalib pun berkata: “Saya sudah kehilangan baju perang selama beberapa hari yang lalu dan menemukan baju perang saya ada di rumah orang Yahudi ini. Saya meyakini bahwa baju perang itu milik saya karena memiliki beberapa tanda”.

Berbeda dengan hakim zaman sekarang yang sering membuat keputusan berdasarkan asas kepentingan. Hakim pada zaman dahulu masih bermuamalah dengan tuhannya, tak peduli harus berhadapan dengan raja atau orang biasa. Hakim Syuraih pun bertanya kepada orang Yahudi itu mengenai Kronologinya, sedangan orang Yahudi itu menjelaskan sebagaimana yang harus ia jelaskan.

Mendengar pengakuan dari orang Yahudi itu, hakim Syuraih bertanya kepada Ali bin Abi Thalib: “Wahai Amirul Mukmini, apakah engkau memiliki saksi yang bisa membuktikan jika baju perang itu milikmu?”. Ali bin Abi Thalib pun berkata: “Tidak ada yang mengenali baju ini kecuali istri dan anak saya”. Ada istri beliau lainnya tidak begitu mengenal baju perang itu karena yang paling mengenalnya adalah Fatimah, sedangkan pada saat itu Fatimah sudah lama meninggal dunia di zaman kepemimpinan khalifah Abu Bakar.

Mendengar penjelasan Ali bin Abi Thalib maka Hakim Syuraih berkata: “Engkau pun mengetahuinya wahai Amirul Mukminin, bahwa dalam Islam tidak boleh jika seorang anak menjadi saksi untuk orang tuanya, begitu pula orang tua tidak boleh menjadi saksi untuk anaknya”. Berarti dalam hal ini kesaksian Hasan dan Husain sudah tertutup. Pada saat itu nyatanya membuat orang Yahudi kaget itu ketika mendengat hakim berkata: “Wahai Amirul Mukminin, maka aku putuskan bahwa baju perang ini milik orang Yahudi”.

Mendengar keputusan itupun Ali bin Abi Thalib tidak menyangkal dan menerima segala keputusan hakim. Orang Yahudi yang mendengar keputusan itupun bingung keheranan. Hingga ia menghampiri hakim Syuraih dan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu saling bercengkerama seperti tidak perna terjadi suatu permasalahan. Orang Yahudi itupun berkata: “Wahai hakim, apakah pengadilan ini sudah berakhir?”. Kata hakim Syuraih yang saat bercengkrama bersama dengan Ali, berkata: “Iya, sebagaimana yang telah engkau lihat”.

Melihat hal itu Ali bin Abi Thalib menanggapi dengan berkata: “Iya sudah selesai, walaupun saya yakin baju itu milik saya tapi saya tidak memiliki saksi. Sebagaimana agama kami mengajarkan demikian”. Orang Yahudi itu masih tercengang tidak percaya dan kembali memastikan kepada hakim: “Wahai Hakim, benarkah sudah selesai?” Kata hakim: “Iya benar, dan saya putuskan bahwa baju itu adalah milikmu”.

Setelah memastikan semuanya kepada hakim, orang Yahudi itupun pada akhirnya memeluk Islam dengan berkata: “Wahai hakim Syuraih dan Amirul Mukminin, Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah, Wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah”. Orang Yahudi itu mengetahui cara masuk Islam, sebagaimana kita tahu bahwa orang Yahudi itu sangat sulit sekali untuk masuk Islam. Melihat hal itu Ali bin Abi Thalib berkata: “Wahai Yahudi, kenapa kau masuk Islam?”. Kemudian kata orang Yahudi itu: “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin bahwa ini adalah baju perang engkau, saya mencurinya beberapa hari yang lalu. Aku masuk Islam karena melihat keadilan dari agamamu”.

“Aku rela Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai Agamaku dan Muhammad sebagai Nabi-ku dan Rasul utusan Allah”: maka aku adalah penjaminnya, dan akan aku gandeng dia dengan memegang tangannya, sampai aku memasukkannya ke dalam Surga. (HR. At-Thabrani)

Sesungguhnya Allah memerintahkan kita (ummat Islam) untuk senantiasa mengajak saudara kita yang belum mendapatkan hidayah Allah untuk berusaha mendapatkan hidayah-nya dengan cara belajar agama Islam. Bersama Mualaf Center Aceh dan Mualaf Center Nasional Aya Sofya, siap membantu mualaf yang membutuhkan pertolongan baik secara fisik, materi, ataupun solusi dari masalah yang dialami seorang mualaf.

Kami siap melakukan edukasi atau advokasi bagi mualaf di seluruh Indonesia untuk mendalami dan mengamalkan ajaran agama Islam dalam kesehariannya, serta membina para mualaf agar produktif dalam syi’ar dan dakwah, serta mandiri secara finansial dalam kehidupan yang berlandaskan iman, taqwa, dan cinta tanah air.


Rekomendasi Artikel:


Mualaf Center Nasional AYA SOFYA Indonesia Adalah Lembaga Sosial. Berdiri Untuk Semua Golongan. Membantu dan Advokasi Bagi Para Mualaf di Seluruh Indonesia. Dengan Founder Ust. Insan LS Mokoginta (Bapak Kristolog Nasional).


ANDA INGIN SUPPORT KAMI UNTUK GERAKAN DUKUNGAN BAGI MUALAF INDONESIA?

REKENING DONASI MUALAF CENTER NASIONAL AYA SOFYA INDONESIA
BANK MANDIRI 141-00-2243196-9
AN. MUALAF CENTER AYA SOFYA


SAKSIKAN Petualangan Dakwah Seru Kami Di Spesial Channel YouTube Kami:

MUALAF CENTER AYA SOFYA


MEDIA AYA SOFYA

Website: www.ayasofya.id

Facebook: Mualaf Center AYA SOFYA

YouTube: MUALAF CENTER AYA SOFYA

Instagram: @ayasofyaindonesia

Email: ayasofyaindonesia@gmail.com


HOTLINE:

+62 8233-121-6100 (Ust. Ipung)
CHAT: wa.me/6282331216100

+62 8233-735-6361 (Ust. Fitroh)
CHAT: wa.me/6282337356361


Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.