MUALAF DITEMANI ISTRI‼️WANITA KRISTEN BERKACA-KACA, SUAMINYA MASUK ISLAM

Pada suatu malam penuh keberkahan, Allah Subhanahu wa Ta’ala kembali menunjukkan keindahan hidayah-Nya. Di tengah kegiatan pensyahadatan yang berlangsung, seorang pria muda bernama Jefri Ahmad Rosidi mengambil langkah besar dalam hidupnya: kembali memeluk agama Islam setelah sebelumnya sempat berpindah ke agama Kristen Protestan (GPdI – Gereja Pantekosta di Indonesia). Seorang mualaf yang ditemani istrinya, dimana sang istri masih pada keyakinannya sebagai seorang nasrani.

Momen ini terasa sangat istimewa. Tidak seperti biasanya, dalam dokumen baptis Jefri tercantum nama “Ahmad” dan “Rosidi”, dua nama yang lekat dengan identitas Islam. Hal ini sempat menimbulkan pertanyaan: bagaimana mungkin seseorang yang memiliki nama islami ternyata berstatus sebagai seorang Nasrani?

Sedikit Cerita Sebelum Murtad

Dalam penuturannya, Jefri menjelaskan bahwa ia sebenarnya lahir dari keluarga Muslim. Namun, setelah menikah dengan pasangan yang beragama Kristen, ia memutuskan untuk mengikuti keyakinan istrinya. Awalnya, ia mengira pernikahan beda agama cukup dengan prosesi akad semata, tanpa harus berpindah keyakinan. Namun kenyataannya, ia harus melalui proses baptis dan secara resmi berganti agama.

Jefri menjalani kehidupan sebagai Kristen selama kurang lebih satu tahun. Namun, di tengah perjalanannya, ia merasa kosong dan tidak menemukan kedamaian batin. Momen titik balik terjadi menjelang bulan Ramadan tahun sebelumnya, saat ibunya meninggal dunia. Ia dilanda ketakutan: sebagai seorang Kristen, apakah doanya masih akan sampai kepada ibunya? Ia mengenang ajaran Islam bahwa doa anak saleh menjadi pahala yang terus mengalir untuk orang tua yang telah wafat. Ketakutan ini membuka hatinya untuk kembali merenungi jalan hidup yang telah ia pilih.

Lebih jauh lagi, Jefri mengungkapkan bahwa salah satu ajaran yang membuatnya ragu terhadap agama barunya adalah doktrin yang menyatakan bahwa “percaya kepada Yesus sebagai Tuhan” sudah cukup untuk menjamin masuk surga, tanpa memperhitungkan amal perbuatan baik atau buruk di dunia. Ia mempertanyakan keadilan konsep ini: bagaimana mungkin amal perbuatan manusia tidak menjadi tolok ukur keselamatan di akhirat?

Kepercayaan yang Disesali

Dengan penuh kejujuran, Jefri menyatakan, “Kalau hanya percaya saja, buat apa manusia dihidupkan di dunia? Sedangkan Nabi Adam saja, ketika berbuat dosa, langsung diturunkan dari surga.” Bagi Jefri, akal sehat dan hatinya tidak mampu menerima ajaran bahwa sekadar keimanan tanpa amal baik dapat menjadi jaminan keselamatan.

Akhirnya, setelah merenung dalam-dalam, Jefri memutuskan untuk kembali ke Islam. Ia ingin kembali kepada fitrahnya, kepada agama yang mengajarkan keseimbangan antara iman dan amal, antara keyakinan dan perbuatan.

Saat ditanya tentang proses baptis yang pernah dijalaninya, Jefri menceritakan bahwa ia dibaptis dengan cara dicelupkan ke dalam air, pengalaman yang cukup mengejutkan baginya karena dilakukan dua hingga tiga kali.

Saat berbincang lebih jauh, Jefri Ahmad Rosidi menceritakan bahwa sejak dibaptis, hatinya tidak pernah merasa benar-benar tenang. Alih-alih merasakan kebahagiaan atau keberkahan seperti yang diharapkan, ia justru merasakan kegelisahan yang terus-menerus menghantui dirinya.

“Setelah dibaptis, saya malah merasa kurang ada ketenangan dalam diri,” ungkapnya jujur. Meskipun secara formal ia telah berpindah keyakinan, dalam kesehariannya Jefri mengaku hampir tidak pernah mengikuti ajaran gereja. Ia tidak rutin pergi ke gereja, bahkan sesekali masih diam-diam mengikuti shalat Jumat atau mencoba berpuasa, walau hatinya diliputi kebingungan, apakah ibadah itu diterima atau tidak, mengingat status agamanya saat itu.

Beban Pikiran Setelah Murtad

Kenangan akan kedua orang tuanya, terutama ibunya, menjadi beban berat yang terus menghantui batinnya. Ia merasa bersalah karena hanya enam bulan setelah ibunya wafat, ia malah berpindah keyakinan. “Kalau penyesalan pasti ada,” katanya lirih. Apalagi ia tahu betul bahwa ibunya, seorang mualaf dengan keimanan yang kokoh, selalu berusaha menjaga shalat dan amal ibadahnya, meskipun mungkin hafalan surat-surat pendek Al-Qur’annya tidak banyak.

Ketakutan terbesar Jefri adalah jika doa-doanya tidak sampai kepada almarhumah ibunya. Ia paham, dalam Islam, doa anak yang saleh bisa menjadi penyelamat bagi orang tua di alam kubur. Ia khawatir jika tetap berada dalam keyakinan lamanya, ia tidak bisa lagi berdoa dengan cara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala terima.

“Aku takut, kalau aku enggak kembali ke Islam, doa untuk ibu enggak sampai. Aku mau, setidaknya kalau di dunia belum bisa bahagiain, di akhirat bisa bikin ibu tenang,” tuturnya penuh haru.

Di balik semua kegalauan itu, ada satu kenyataan yang menambah berat hatinya: ibunya sendiri dulunya seorang mualaf yang memeluk Islam dengan penuh tekad. Sementara banyak saudara kandung ibunya, termasuk yang kini menjadi pendeta, tetap memeluk agama lamanya, ibunya tetap kokoh dalam Islam hingga akhir hayatnya. Keputusan Jefri untuk kembali bersyahadat bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga sebagai bentuk bakti dan penghormatan kepada perjuangan iman ibunya.

Dengan semua pertimbangan itu, menjelang Ramadan tahun berikutnya, Jefri akhirnya membulatkan tekad untuk kembali kepada Islam, agama yang telah dia warisi sejak lahir, agama yang mengajarkan keseimbangan antara iman, amal, dan doa.

Jalan Berliku dan Cahaya Hidayah

Kenangan Jefri Ahmad Rosidi terhadap pesan ibunya kembali mengemuka dalam percakapan. Sang ibu, semasa hidupnya, selalu berpesan bahwa seorang laki-laki harus menjadi imam dalam keluarga, dan pasangan hidupnya kelak haruslah mengikuti agama suami, bukan sebaliknya. Namun kenyataan yang dialaminya justru berbalik, ia mengikuti keyakinan pasangannya. Penyesalan itu kini menjadi cambuk baginya untuk kembali menapaki jalan yang pernah ia tinggalkan.

“Sebenarnya semua manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, dalam keadaan muslim,” ujar Jefri, mengutip hadits Rasulullah SAW. Ia menyadari, fitrah manusia adalah suci, bersih dari dosa. Berbeda dengan keyakinan sebelumnya yang menganggap bayi lahir sudah mewarisi dosa asal, sebuah konsep yang menurutnya kini terasa tidak logis.

Dalam Islam, setiap insan lahir dalam keadaan suci. Sedangkan dalam ajaran Kristen yang pernah ia anut, bayi dianggap membawa dosa warisan sejak lahir, dan baru dianggap suci setelah melalui baptisan. Penjelasan tentang hal ini ia dengar langsung dalam proses pembimbingan sebelum ia bersyahadat kembali. “Lebih logik mana? Lebih logik Islam,” katanya dengan yakin.

Bertengkar dengan Pikiran

Ia juga memahami bahwa dalam kepercayaan lamanya, semua dosa, mulai dari zina, mencuri, mabuk, hingga korupsi, dikisahkan ditanggung oleh Yesus yang disalib. Namun, bagi Jefri, konsep itu semakin membuatnya merasa tidak adil dan tidak masuk akal. “Dosa harusnya milik pribadi masing-masing,” tegasnya. Bagaimana mungkin orang berbuat maksiat, sementara orang lain yang harus menanggung dosanya?

Penyimpangan logika inilah yang akhirnya membuka matanya. Ia sadar bahwa keimanannya dulu rapuh, mudah goyah hanya karena rasa sungkan dan sifat “tidak enakan”. Ia mengaku, saat itu dirinya dalam kondisi sangat lemah, baru saja kehilangan orang tua, tidak punya tempat bertanya atau berbagi. Maka ketika menghadapi tawaran pernikahan lintas agama, ia menganggap remeh dengan berpikir “hanya akad saja”, tanpa menyadari konsekuensi akidah yang besar di baliknya.

“Sifat jelek saya, enggak enakan,” aku Jefri. “Mikirnya waktu itu cuma soal akad, eh ternyata harus ikut dibaptis segala.”

Namun, semua itu kini ia pandang sebagai ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, ujian yang justru membawanya pada hidayah. Di tengah kegelisahan batin, di antara rasa bersalah terhadap almarhumah ibunya, serta kerinduan untuk kembali dekat dengan Allah, akhirnya Jefri dibukakan jalan untuk kembali kepada Islam, agama yang diridai Allah.

“Alhamdulillah, Allah kasih hidayah lagi untuk kembali ke jalan yang benar,” ucapnya dengan penuh rasa syukur.

Kini, dengan keteguhan hati, Jefri tidak hanya berusaha memperbaiki dirinya sendiri, tetapi juga berharap bisa menjadi sumber doa dan kebahagiaan untuk orang tua yang telah tiada. Ia bertekad untuk menjalani hidup sebagai seorang Muslim yang taat, menebus kesalahan masa lalu, dan membangun masa depan dalam naungan ridha Ilahi.

Dari Kebodohan Mengiyakan Hingga Cahaya Hidayah

Dalam proses bimbingan keislaman yang penuh kejujuran, Jefri Ahmad Rosidi mengisahkan betapa rentannya ia saat awal memeluk agama sebelumnya. Ia mengaku bahwa saat menjadi Kristen, dirinya tidak benar-benar mempelajari ajarannya secara mendalam. Ia hanya mendapatkan informasi sepintas dari pendeta, “Cukup percaya kepada Yesus, maka akan dijamin masuk surga,” katanya. Namun, soal konsep ketuhanan, berapa jumlah Tuhan yang harus diyakini, siapa yang disembah, ia mengaku tidak tahu pasti.

Melalui surat baptisan yang kemudian dibacanya, ia melihat ketidakjelasan: tertulis “dalam nama Allah, Bapa, Putra, dan Roh Kudus” di satu sisi, lalu “Tuhan Yesus Kristus” di sisi lain. Ia sempat bertanya-tanya, mengapa Allah yang disebut lebih tinggi, tapi yang selalu dielu-elukan adalah Yesus? Kebingungan ini terus mengendap dalam benaknya.

“Sebenarnya waktu itu saya enggak paham betul. Cuma ikut saja,” aku Jefri. Ia sadar, ada tiga yang disebut dalam konsep tersebut, Allah, Yesus Kristus, dan Roh Kudus, namun tetap saja baginya terasa janggal dan membingungkan siapa yang paling kuat di antara mereka.

Bagaimana Setelah Masuk Kristen?

Lebih jauh, Jefri bercerita bahwa setelah menikah, istrinya rutin ke gereja setiap Minggu sore, sedangkan ia sendiri berusaha menghindari ikut. “Saya sebisa mungkin pulang kerja itu di hari biasa, supaya enggak ketemu hari Minggu,” ujarnya. Dalam setahun pernikahan, Jefri hanya pernah sekali masuk gereja, yaitu saat prosesi baptisan dan pemberkatan pernikahan di rumah.

Ia pun mengungkapkan alasannya menerima pindah agama saat itu: karena tekanan dari keluarga istri dan sifat “tidak enakan” dalam dirinya. Ia mengakui kebodohannya, merasa bersalah karena dengan mudahnya mengiyakan permintaan itu tanpa berpikir panjang, tanpa berdiskusi dengan keluarga sendiri, tanpa berkonsultasi kepada ustaz.

“Harusnya saya sebagai laki-laki, imam, harus bisa memimpin. Bukan malah jadi makmum,” kata Jefri penuh penyesalan.

Baginya, saat itu semua terjadi karena situasi yang berat: orang tuanya baru saja wafat, pikirannya kacau, hatinya kosong, dan pada saat bersamaan keluarga calon istri meminta kejelasan soal pernikahan. Dalam keadaan tertekan, ia akhirnya menyetujui akad secara Nasrani tanpa pertimbangan matang.

Harapan Untuk Sang Istri

Namun di balik semua itu, ada satu hal yang membuat jalannya kembali terbuka: istrinya tidak pernah memaksanya untuk tetap dalam agama tersebut. Bahkan sejak awal hubungan mereka, Jefri sudah menegaskan bahwa jika kelak harus beragama berbeda, ia memilih mengakhiri hubungan. Sang istri menyatakan bersedia mengikuti, walau dalam kenyataan, untuk menyampaikan hal itu kepada keluarganya butuh waktu yang panjang dan penuh pertimbangan.

Jefri Ahmad Rosidi melanjutkan kisahnya dengan penuh ketulusan. Ia menegaskan bahwa dirinya tidak pernah memaksa istrinya untuk ikut berpindah agama. Sejak awal, ia berharap, jika istrinya kelak masuk Islam, itu harus berangkat dari pemahaman dan kesadaran, bukan sekadar ikut-ikutan karena cinta.

“Aku ingin istri tahu dulu tentang Islam, tahu mana yang diperintahkan, mana yang dilarang,” ujar Jefri dengan suara penuh harap. Ia memahami betul, menjalankan Islam bukan hanya soal berpindah keyakinan, melainkan tentang konsistensi ibadah, akhlak, dan ketaatan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak seperti di pengalaman keagamaannya sebelumnya, yang menurutnya, ibadah ke gereja hanya dilakukan seminggu sekali dan kadang pun tidak menjadi keharusan.

Ia khawatir, jika istrinya masuk Islam hanya karena paksaan atau sekadar ingin menyenangkan suami, maka salat lima waktu dan kewajiban lainnya bisa saja ditinggalkan. Padahal, dalam Islam, setiap suami akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya di akhirat kelak. Ia ingin, bila istrinya benar-benar masuk Islam, itu karena hidayah Allah, bukan karena dorongan manusia.

“Insya Allah, pelan-pelan, siapa tahu Allah memberikan hidayah kepada istri saya,” ujarnya dengan optimisme yang lembut.

Memilih Karena Iman

Malam itu, di tempat sederhana namun penuh keberkahan, istrinya, Mbak Yunike, datang. Ia diundang bukan untuk ditekan, bukan untuk dipaksa, melainkan hanya untuk menjadi saksi, menyaksikan langsung proses suaminya bersyahadat, pulang ke Islam.

Kehadiran Mbak Yunike dianggap penting. Sebab, dari pengalaman sebelumnya, sering terjadi keributan dalam keluarga ketika pasangan tidak mengetahui langsung proses syahadat. Kehadiran secara langsung menjadi bukti dan saksi yang sah bahwa tidak ada paksaan dan semua berjalan dengan ridha.

Dalam Islam, paksaan dalam beragama dilarang keras. Firman Allah Ta’ala jelas menyatakan dalam Al-Qur’an:

 “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah: 256)

Juga dalam ayat lain disebutkan:

 “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6)

Dengan penuh penghormatan terhadap ajaran agama dan hukum negara, para pembimbing menegaskan bahwa malam itu bukanlah tentang memaksa. Mbak Yunike diberi ruang penuh untuk menyaksikan suaminya memilih jalannya sendiri, jalan yang diyakininya dengan hati yang sadar.

Dalam suasana yang syahdu, tanpa tekanan, tanpa paksaan, Jefri bersiap untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebuah langkah besar, bukan hanya mengubah status, melainkan menandai perjalanan baru: sebuah hijrah menuju fitrah, ke jalan tauhid yang sejati.

Restu dan Doa dari Seorang Istri

Di hadapan para saksi dan pembimbing, Mbak Yunike menyampaikan pandangannya dengan jujur dan tulus. Ia tidak keberatan dengan keputusan suaminya untuk masuk Islam. Dengan suara tenang, ia mengatakan, “Kalau memang mau mualaf, ya silakan. Saya enggak maksa.”

Bagi Mbak Yunike, perjalanan ini adalah pilihan sadar dari suaminya. Ia bahkan menyampaikan harapannya agar Mas Jefri semakin rajin menjalankan salat setelah masuk Islam. Sebuah pesan yang sederhana, namun penuh makna, menunjukkan bahwa meski berbeda jalan iman, ada cinta dan penghargaan yang tetap terjaga di antara mereka.

Malam itu terasa begitu damai. Tidak ada ketegangan, tidak ada perdebatan. Yang ada hanyalah kerelaan, pengertian, dan saling menghormati. Kehadiran langsung Mbak Yunike menjadi bukti kuat bahwa semua berjalan tanpa paksaan, sebagaimana ajaran Islam menggariskan: “Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama” (QS. Al-Baqarah: 256).

Pembekalan Sebelum Syahadat

Sebelum melangkah ke prosesi syahadat, Mas Jefri diberikan kesempatan untuk mengikuti pembekalan singkat tentang akidah Islam. Ini adalah prosedur penting untuk memastikan bahwa setiap orang yang masuk Islam melakukannya dengan kesadaran penuh, tanpa keraguan di hati.

Pembekalan ini juga mencakup diskusi tentang konsep perbandingan agama (comparative religion), yang berdalil langsung dari kitab-kitab suci, bukan dari asumsi atau opini pribadi. Sebab dalam Islam, kejelasan dalil menjadi fondasi dalam memahami akidah.

Mas Jefri sebelumnya sempat bertanya tentang “dosa waris”, konsep dalam ajaran Kristen yang menyatakan bahwa setiap bayi yang lahir sudah menanggung dosa akibat kesalahan Adam dan Hawa. Pembimbing pun menjelaskan dengan sabar, menunjukkan dalil dari Kitab Roma pasal 5 ayat 12:

 “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” (Roma 5:12)

Dijelaskan bahwa dalam ajaran Kristen, setiap manusia lahir dengan membawa dosa bawaan. Berbeda dengan konsep dalam Islam, di mana setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah (suci), tanpa dosa sedikit pun, ibarat kertas putih yang bersih.

Penjelasan ini menjadi penting, agar Mas Jefri tidak lagi bimbang setelah bersyahadat, tidak lagi dihantui pertanyaan-pertanyaan tentang akidah. Ia diharapkan memahami dengan yakin bahwa Islam membebaskan manusia dari beban dosa bawaan, dan bahwa setiap jiwa bertanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri.

Membongkar Konsep Dosa Waris dan Penebusan Dosa Menurut Alkitab

Setelah memahami konsep dosa waris dalam kekristenan, pembahasan berikutnya adalah tentang penebusan dosa. Dalam ajaran Kristen, setelah manusia dianggap membawa dosa waris sejak lahir, maka diperlukan “penebusan dosa” untuk membersihkan manusia dari dosa tersebut. Salah satu praktik umum yang mereka lakukan adalah pembaptisan bayi. Dimana bayi yang lahir dalam keadaan berdosa dianggap menjadi suci setelah dibaptis, sehingga memiliki jaminan masuk surga.

Dalil-dalil yang sering dijadikan sandaran untuk penebusan dosa ini antara lain:

Efesus 1:7,

“Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya.”

Roma 3:24,

“Dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.”

1 Yohanes 3:5,

“Dan kamu tahu bahwa Ia telah menyatakan diri-Nya supaya Ia menghapus segala dosa dan di dalam Dia tidak ada dosa.”

Ibrani 9:26,

“Sebab jika kita sengaja berbuat dosa sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu.”

Ajaran ini mengatakan bahwa Yesus Kristus menjadi “korban” yang disembelih untuk menghapus dosa manusia. Akibatnya, siapa pun yang percaya kepada Yesus dianggap telah ditebus dari segala dosa-dosanya, apapun bentuk dosanya.

Namun, apakah konsep ini bisa diterima secara logika dan berdasarkan kajian yang teliti terhadap isi Alkitab?

Menggugat Penebusan Dosa dengan Dalil Alkitabiyah

Setelah dalil logika, kita masuk ke dalil Alkitabiyah.

Semua dalil yang sering dikutip untuk membenarkan penebusan dosa Efesus, Roma, 1 Yohanes, Kolose berasal dari surat-surat Paulus.

Mari kita perjelas:

Roma: Surat Paulus kepada jemaat di Roma.

Efesus: Surat Paulus kepada jemaat di Efesus.

Kolose: Surat Paulus kepada jemaat di Kolose.

Di awal setiap surat, tercantum jelas bahwa ini adalah surat dari Paulus, bukan firman Allah langsung, bukan pula pernyataan dari Yesus.

Sebagai contoh:

Roma 1:1

“Salam dari Paulus, hamba Kristus Yesus, yang dipanggil menjadi rasul…”

Efesus 1:1

“Dari Paulus, rasul Kristus Yesus oleh kehendak Allah…”

Kolose 1:1

“Dari Paulus, rasul Kristus Yesus oleh kehendak Allah, dan Timotius saudara kita…”

Semua ini menunjukkan bahwa ajaran tentang dosa waris dan penebusan dosa, bukan berasal dari ucapan Yesus langsung, melainkan dari interpretasi pribadi Paulus.

Jadi, umat Islam, bahkan umat Kristen sendiri yang ingin memahami ajaran secara murni, perlu bertanya:

Apakah ajaran pokok seperti penebusan dosa bisa hanya didasarkan pada surat seseorang, bukan pada sabda Tuhan sendiri?

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan:

1. Penebusan dosa dalam bentuk “percaya Yesus lalu semua dosa diampuni” bertentangan dengan prinsip keadilan, bahkan menurut akal sehat manusia.

2. Dalil-dalil tentang penebusan dosa dalam Alkitab, ternyata bersumber dari surat-surat Paulus, bukan dari ucapan langsung Yesus.

3. Konsep ini membuka celah ketidakadilan: para pelaku kejahatan berat pun bisa lolos ke surga hanya dengan modal kepercayaan, tanpa mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pada bagian berikutnya, kita akan membahas bagaimana sebenarnya ajaran Yesus tentang dosa, amal perbuatan, dan keselamatan menurut Bible itu sendiri, serta bagaimana Islam memandang konsep keselamatan secara lebih adil dan rasional.

Pada bagian berikutnya, kita akan membahas bagaimana sebenarnya ajaran Yesus tentang dosa, amal perbuatan, dan keselamatan menurut Bible itu sendiri, serta bagaimana Islam memandang konsep keselamatan secara lebih adil dan rasional.

Menguak Asal-Usul Surat Paulus dan Pengaruhnya dalam Kekristenan

Sebagian besar isi dari Perjanjian Baru dalam Alkitab ternyata didominasi oleh surat-surat yang ditulis oleh Paulus. Mulai dari kitab Roma, Korintus, Galatia, Filipi, hingga Tesalonika, semuanya merupakan surat yang ditujukan Paulus kepada jemaat di berbagai kota. Bahkan ada surat yang lebih bersifat personal seperti kepada Timotius, Titus, dan Filemon, yang sebenarnya adalah surat-surat pribadi, bukan kitab yang diniatkan untuk menjadi bagian dari kitab suci.

Dahulu, surat-menyurat adalah hal yang sangat sakral. Layaknya kiriman surat yang mengharukan pada zaman perangko, surat-surat Paulus pun mengandung pesan-pesan personal yang penuh emosi dan harapan untuk jemaat dan orang-orang yang ia kasihi. Tidak terbayangkan oleh Paulus bahwa surat-surat ini suatu hari akan disusun, dikumpulkan, dan dijadikan bagian dari kitab suci agama besar dunia.

Surat kepada Anak-Anak Angkat dan Teman Sekantor   

Contoh nyata dari surat-surat pribadi ini adalah Surat Paulus kepada Timotius. Timotius bukanlah nama kota, melainkan nama seorang anak angkat Paulus, karena Paulus sendiri tidak pernah menikah. Ia pernah mengalami patah hati, sehingga kemudian mengangkat Timotius sebagai anak dalam iman. Demikian pula surat kepada Titus, seorang anak angkat lainnya, dan Filemon, yang merupakan teman sekerjanya. Paulus bahkan menulis surat kepada Filemon saat dirinya dipenjara.

Semua surat ini, yang awalnya bersifat personal dan insidental, kini dibaca dan dianggap suci oleh umat Kristiani. Ironisnya, hingga saat ini tidak ada kejelasan siapa yang pertama kali mengumpulkan dan merapikan surat-surat Paulus tersebut hingga menjadi kitab suci resmi. Ini menjadi pertanyaan besar yang belum terjawab dengan pasti oleh para teolog Kristen sendiri.

Tidak Ada Pernyataan Langsung dari Yesus

Hal lain yang sangat penting untuk disadari adalah bahwa tidak ada satu pun ayat dalam Alkitab, setebal apa pun, di mana Yesus secara eksplisit dan lugas menyatakan dirinya sebagai Tuhan atau Allah. Semua pernyataan yang sering dijadikan rujukan adalah interpretasi, atau bahkan berasal dari tulisan Paulus, bukan dari perkataan Yesus sendiri.

Dalam Alkitab, Yesus tidak pernah berkata: “Aku, Yesus, adalah Tuhan,” atau “Aku, Yesus, adalah Allah.” Tantangan berhadiah Rp1 triliun pun pernah dilemparkan kepada siapa saja yang bisa menunjukkan satu ayat saja di Alkitab yang memuat pernyataan Yesus tersebut secara tegas dan hingga kini tidak ada satu orang pun yang mampu memenuhi tantangan tersebut. Ini menunjukkan betapa klaim keilahian Yesus lebih banyak didasarkan pada interpretasi ajaran Paulus daripada ucapan Yesus sendiri.

Siapakah Paulus Sebenarnya?

Untuk memahami lebih dalam, perlu juga mengetahui siapa Paulus sebenarnya. Paulus bukanlah murid Yesus. Ia bahkan tidak pernah bertemu dengan Yesus semasa hidup. Awalnya, Paulus adalah musuh Yesus. Ia dikenal sebagai seorang penganiaya dan pembunuh murid-murid Yesus.

Paulus memimpin operasi besar untuk membunuhi para pengikut Yesus. Namun, dalam satu perjalanan menuju Damsyik, setelah membunuh murid-murid Yesus, Paulus mengalami dehidrasi berat di tengah panasnya padang pasir. Dalam keadaan pusing dan kehausan itu, ia melihat cahaya putih. Sebuah pengalaman yang wajar dalam kondisi dehidrasi, tetapi Paulus mengklaim bahwa itu adalah penampakan Yesus. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi titik balik perubahan sikap Paulus: ia bertobat dan menyatakan dirinya sebagai rasul.

Paulus: Pendiri Agama Kristen

Dalam sejarah Kekristenan, Paulus memegang peranan yang sangat besar. Ia bisa dikatakan sebagai pendiri agama Kristen karena ajaran-ajarannya lah yang menjadi pondasi utama agama ini. Perlu dipahami bahwa Yesus sendiri tidak pernah menyatakan diri sebagai pendiri agama Kristen, bahkan istilah “Kristen” pun tidak dikenal oleh Yesus dan para pengikutnya di masa hidupnya.

Semua ini memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai asal-usul doktrin dan isi Perjanjian Baru, yang banyak berakar dari tulisan-tulisan Paulus, seorang yang tadinya musuh Yesus, bukan murid yang hidup dan belajar langsung dari sang Mesias.

Kembali kepada Ajaran Tauhid yang Murni

Melalui pembahasan panjang ini, kita bisa menarik satu benang merah yang jelas: bahwa ajaran Nabi Isa Alaihissalam (Yesus Kristus) sebenarnya adalah ajaran tauhid, yakni beribadah hanya kepada Allah semata, tanpa menyekutukan-Nya dengan apapun. Tidak pernah dalam seluruh ajarannya, Nabi Isa mengajarkan konsep penebusan dosa oleh dirinya, apalagi menyebut istilah “Kristen” sebagai jalan keselamatan.

Sebagaimana telah dipaparkan, istilah “Kristen” baru muncul puluhan tahun setelah peristiwa penyaliban, dan itu pun dipopulerkan oleh Paulus, seorang yang sebelumnya justru dikenal sebagai pembunuh para murid Nabi Isa. Ia yang mengaku bertemu dengan Yesus dalam sebuah peristiwa gaib, kemudian membentuk ajaran baru yang sangat berbeda dari ajaran tauhid yang diajarkan Nabi Isa.

Lebih lanjut, dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa setiap manusia bertanggung jawab atas dosanya sendiri. Tidak ada satu jiwa pun yang bisa menanggung dosa jiwa lainnya. Prinsip ini sesuai dengan ajaran asli para nabi, termasuk Nabi Musa dan Nabi Isa, dan juga sejalan dengan logika sehat: mustahil kesalahan seseorang dibebankan kepada orang lain.

Syahadat:

Ketika Mas Jefri dengan penuh kesadaran mengucapkan dua kalimat syahadat, ini bukan sekadar perubahan status agama, melainkan sebuah kembalinya jiwa kepada fitrah tauhid. Kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, adalah pondasi iman yang sejati, sebagaimana yang dipegang oleh semua nabi terdahulu, termasuk Nabi Isa Alaihissalam.

Syahadat ini menjadi gerbang untuk memulai kehidupan baru, yaitu kehidupan yang dibangun di atas keyakinan murni kepada Allah, serta mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai nabi terakhir yang diutus untuk seluruh umat manusia.

Sebagai penutup, penting diingat bahwa dalam Islam tidak ada paksaan dalam beragama. Setiap orang diberi kebebasan untuk mencari dan menemukan kebenaran berdasarkan hati nurani, logika sehat, dan dalil-dalil yang sahih. Maka dari itu, bagi Mas Jefri dan Mbak Yunike, perjalanan ini baru saja dimulai. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan hati kalian dalam keimanan, memberikan keberkahan dalam rumah tangga, serta membimbing kalian dalam setiap langkah kehidupan ke jalan yang diridhai-Nya.

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.

Semoga Allah memberkahi langkah baru ini dan meneguhkan kita semua dalam keimanan yang lurus.

Mualaf Center Nasional AYA SOFYA Indonesia Adalah Lembaga Sosial. Berdiri Untuk Semua Golongan. Membantu dan Advokasi Bagi Para Mualaf di Seluruh Indonesia. Dengan Founder Ust. Insan LS Mokoginta (Bapak Kristolog Nasional).


ANDA INGIN SUPPORT KAMI UNTUK GERAKAN DUKUNGAN BAGI MUALAF INDONESIA?

REKENING DONASI MUALAF CENTER NASIONAL AYA SOFYA INDONESIA
BANK MANDIRI 141-00-2243196-9
AN. MUALAF CENTER AYA SOFYA


SAKSIKAN Petualangan Dakwah Seru Kami Di Spesial Channel YouTube Kami:

MUALAF CENTER AYA SOFYA

mualaf ditemani Istri


MEDIA AYA SOFYA

Website: www.ayasofya.id

Facebook: Mualaf Center AYA SOFYA

YouTube: MUALAF CENTER AYA SOFYA

Instagram: @ayasofyaindonesia

Email: ayasofyaindonesia@gmail.com


HOTLINE:

+62 851-7301-0506 (Admin Center)
CHAT: wa.me/6285173010506

+62 8233-121-6100 (Ust. Ipung)
CHAT: wa.me/6282331216100

+62 8233-735-6361 (Ust. Fitroh)
CHAT: wa.me/6282337356361


ADDRESS:

MALANG: INSAN MOKOGINTA INSTITUTE, Puncak Buring Indah Blok Q8, Citra Garden, Kota Malang, Jawa Timur.

PURWOKERTO: RT.04/RW.01, Kel. Mersi, Kec. Purwokerto Timur., Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah

SIDOARJO: MASJID AYA SOFYA SIDOARJO, Pasar Wisata F2 No. 1, Kedensari, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.

SURABAYA: Purimas Regency B3 No. 57 B, Kec. Gn. Anyar, Kota SBY, Jawa Timur 60294.

TANGERANG: Jl. Villa Pamulang No.3 Blok CE 1, Pd. Benda, Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten 15416

BEKASI: Jl. Bambu Kuning IX No.78, RT.001/RW.002, Sepanjang Jaya, Kec. Rawalumbu, Kota Bks, Jawa Barat 17114

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.