Link Youtobe: https://www.youtube.com/live/PYQVqdRQp_c?si=ahjUacJrbGgtIQFq

Dalam sebuah kajian Kristologi yang digelar oleh Mualaf Center Nasional Ay Sofia melalui kanal YouTube mereka, Ustaz Ahmad Kainama mengangkat sebuah tema kontroversial namun penting untuk dipahami dalam konteks akademik dan hubungan antaragama: “Apakah Yusuf Tokoh Fiktif? Apakah Arimatea Tidak Pernah Ada? Dan Benarkah 11 Murid Lari Saat Penyaliban Tidak Pernah Ada?”
Kajian ini disambut antusias oleh peserta dari berbagai kota di Indonesia, menunjukkan tingginya minat umat Islam dalam memahami agama lain, bukan untuk menyerang, tetapi sebagai bagian dari literasi lintas iman.
Bukan untuk Menghujat
Sejak awal, Ustadz Kainama menekankan bahwa pembahasan ini bukan bertujuan untuk menghina, merendahkan, apalagi menistakan keyakinan umat Kristiani dan Katolik. “Tidak ada niat dari kami, pribadi saya, Mualaf Center Nasional Aya Sofya, dan umat Islam di Indonesia untuk menyerang atau merendahkan dogma, liturgi, maupun pemahaman biblikal saudara-saudara kita,” tegasnya.
Justru sebaliknya, beliau menyerukan agar umat Kristiani percaya diri untuk mengakui identitas ajarannya secara jujur. “Kristen bukan agama Abrahamik, bukan agama monoteistik, bukan agama samawi. Kristen adalah agama tradisi apostolik yang dimunculkan oleh Romawi,” tambahnya. Menurut Kainama, pengakuan ini justru akan mempererat hubungan lintas iman karena tidak ada lagi klaim yang tumpang tindih.
Seruan untuk Kejujuran Teologis
Ustadz Kainama menyampaikan bahwa ketegangan antarumat beragama seringkali disebabkan oleh klaim teologis yang tidak diakui secara jujur. Ia mendorong umat Kristiani untuk berani mengatakan bahwa agama mereka berdiri di atas warisan tradisi Helenisme, filsafat Stoa, serta pemahaman politeistik yang membentuk doktrin Trinitas.
“Kalau Kristen mengakui bahwa mereka bukan agama samawi, bukan agama yang berasal dari wahyu Tuhan seperti Islam atau Yudaisme, maka umat Islam justru akan lebih mudah untuk menghargai dan menjalin kerukunan,” jelasnya. Dalam kerangka negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pengakuan terhadap perbedaan adalah jalan menuju toleransi yang sejati.
Kerangka Akademik dan Metode Analisis
Pembahasan dalam kajian ini tidak dilakukan secara serampangan. Ustaz Kainama menegaskan bahwa seluruh tema yang diangkat selalu dibahas dalam kerangka akademik yang ketat: dimulai dari penentuan area kasus, pengumpulan poin-poin penting, pencarian sumber-sumber yang kredibel, hingga pengujian hipotesis yang berujung pada konklusi yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Bukan asumsi, bukan analogi pribadi, tapi berdasarkan data, sumber historis, dan validitas akademik,” jelasnya. Ia juga menyinggung bahwa banyak kanal YouTube atau TikTok yang berbicara soal agama hanya bermodalkan opini dan provokasi tanpa metodologi ilmiah.
Kritik terhadap Polarisasi Media Sosial
Ustaz Kainama menyayangkan adanya sekelompok tokoh dari kalangan Kristen yang menggunakan media sosial untuk menyerang Islam. Mereka menyebut Islam sebagai agama baru abad ke-7, dan menyerang ajaran Rasulullah serta Al-Qur’an secara terbuka.
“Mereka bukan akademisi, bukan pencari kebenaran, tetapi provokator yang ingin menanamkan kebencian dan memecah belah,” ujarnya tegas. Ustaz Kainama mengajak umat Islam untuk tidak terpancing dan tetap menunjukkan akhlak mulia serta sikap toleran.
Tema penting yang diangkat dalam ceramah ini adalah penyaliban. Ditegaskan secara lugas bahwa penyaliban memang terjadi, namun tokoh yang disalib bukanlah Yesus. Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Ini adalah hasil dari telaah mendalam terhadap bukti-bukti sejarah, literatur Yahudi, serta dokumen Kristen awal.
Yusuf dari Arimatea: Tokoh Fiktif dalam Narasi Kanonik?
Salah satu tokoh sentral yang sering disebut dalam kisah penyaliban Yesus adalah Yusuf dari Arimatea. Dalam keempat Injil kanonik Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes disebutkan bahwa Yusuf dari Arimatea adalah anggota Sanhedrin, orang terpandang yang meminta izin kepada Pilatus untuk menguburkan tubuh Yesus. Namun, dalam literatur Yahudi, tokoh ini tidak pernah dikenal. Tidak ada satu pun catatan dalam tulisan-tulisan Yahudi yang menyebutkan keberadaan Yusuf dari Arimatea. Hal ini mengindikasikan bahwa tokoh ini bisa jadi merupakan tokoh fiktif yang dibangun untuk memperkuat narasi tertentu dalam Injil.
Lebih lanjut, ternyata nama Yusuf dari Arimatea bukan berasal dari keempat Injil tersebut secara orisinal. Keempat Injil itu ternyata mengambil referensi dari Gospel of Nicodemus, yang bahkan diakui oleh pihak Katolik sebagai kitab apokrif atau palsu. Dari sinilah kisah Yusuf dari Arimatea berkembang menjadi legenda Glastonbury, sebuah cerita rakyat Inggris yang muncul pada abad ke-12. Dari Glastonbury, narasi ini berkembang lagi menjadi puisi berjudul Jerusalem yang ditulis oleh William Blake pada tahun 1808.
Dengan demikian, ada mata rantai fiktif yang menghubungkan tokoh Yusuf dari Arimatea dari injil apokrif, ke legenda rakyat, hingga karya sastra. Ini menjadi salah satu bukti bahwa kisah penyaliban Yesus, sebagaimana diceritakan dalam Injil kanonik, tidak berdiri di atas pondasi sejarah yang kokoh.
Flavius Josefus: Saksi Yahudi yang Membantah Penyaliban
Poin penting berikutnya adalah penegasan bahwa sumber-sumber Kristen awal sendiri tidak memberikan bukti nyata mengenai penyaliban Yesus. Salah satu tokoh sejarah Yahudi paling terkenal, Flavius Josefus, justru tidak mencatat peristiwa penyaliban Yesus secara historis dalam karya-karyanya yang penting, seperti The Life of Flavius Josephus. Bahkan ketika beberapa kalangan Kristen mencoba mengutip pernyataan Josefus, mereka sering keliru dalam konteks atau mengutip interpolasi (tambahan) yang tidak autentik.
Dalam ceramah ini disebutkan bahwa argumen “Yesus tidak disalib karena tidak ada bukti” sesungguhnya adalah kutipan dari Josefus sendiri. Hal ini diperkuat ketika Ustaz Kainama dalam debat dengan Pendeta Esra Soru menggunakan kutipan Josefus untuk membuktikan bahwa tidak ada catatan sejarah yang kuat mengenai penyaliban Yesus. Ironisnya, sang pendeta justru tidak menyadari bahwa yang digunakan Ustaz Kainama adalah kutipan dari sumber yang justru sering dijadikan pegangan kalangan Kristen sendiri.
Bukti Absennya Bukti: Ironi Besar Teologi Kristen
Ini adalah salah satu ironi terbesar dalam sejarah keimanan Kristen: dasar keimanan terhadap penyaliban Yesus justru berdiri di atas narasi yang tidak didukung oleh bukti historis yang otentik. Ketika bukti-bukti sejarah Yahudi tidak mengenal tokoh Yusuf dari Arimatea, ketika sumber-sumber Injil sendiri mengadaptasi narasi dari kitab palsu, dan ketika tokoh seperti Flavius Josefus pun tidak memberikan kesaksian yang autentik, maka pertanyaan besar pun muncul: Apakah benar Yesus disalib?
Ustaz Kainama menyimpulkan bahwa semua tuduhan terhadap dirinya hanya mempermalukan pihak yang melontarkannya. Mengapa? Karena ketika mereka menghina pernyataan “Yesus tidak disalib karena tidak ada bukti,” mereka sesungguhnya sedang menghina pendapat Flavius Josefus yang mereka sendiri kutip dalam berbagai doktrin.
Kehilangan Bukti Historis yang Mengguncang: Kapan Yesus Disalib?
Setelah membongkar mitos seputar Yusuf dari Arimatea dan mengungkapkan ketiadaan catatan dari sejarawan Yahudi Flavius Josefus, ceramah ini melangkah lebih jauh dengan menyoroti para Antenician Fathers, yaitu para bapak gereja sebelum Konsili Nicea (325 M) dan diamnya mereka terhadap satu peristiwa yang seharusnya monumental: penyaliban Yesus.
Diamnya Para Bapak Gereja: Bukti yang Memekakkan
Melalui situs tertullian.org, Ustaz Kainama dan Ustaz Danirul menyoroti bagian dari Antenician Fathers yang ditandai warna merah muda, area yang menunjukkan bahwa tidak ada satupun dari mereka yang menyebut “penyaliban Yesus” dalam karya mereka yang autentik. Fakta ini disampaikan dalam bentuk kutipan dan ditayangkan langsung dari situs tersebut sebagai bukti terbuka.
Di titik ini, dikemukakan prinsip yang sangat tajam secara ilmiah: “Ada kalanya ketiadaan bukti merupakan bukti yang cukup kuat.” Siapa yang menyatakan prinsip ini? Bukan seorang Muslim, bukan pula penentang Kristen, melainkan para cendekiawan Barat sendiri dalam studi kritis mereka terhadap sumber-sumber kuno.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, keheningan itu terus berlanjut sampai munculnya tokoh Eusebius, sejarawan gereja awal abad ke-4, yang dicurigai sebagai orang pertama yang menyisipkan kisah “positif” tentang Yesus dalam teks Josefus. Sebelumnya? Sunyi senyap.
“Hening Itu Memekakkan” : Ketika Sejarah Tidak Bicara
Keheningan yang dimaksud dalam ceramah ini bukan hanya sekadar ketiadaan narasi, tetapi sebuah kejanggalan fatal. Dalam ilmu sejarah, jika sebuah peristiwa berskala besar seperti penyaliban seorang tokoh yang diklaim Mesias tidak tercatat oleh sejarawan yang hidup sezaman dan dihormati seperti Flavius Josefus, maka hal itu sangat mencurigakan.
Ustaz Kainama menyatakan dengan lantang bahwa klaim “Yesus disalib” tidak hanya tidak didukung oleh Josefus, tetapi juga oleh para pemimpin gereja awal. Pernyataan ini pun menampar kalangan apologet Kristen karena membongkar fakta bahwa banyak keyakinan mereka tidak disandarkan pada sumber primer yang sahih, melainkan pada tafsir dan sisipan yang dibuat belakangan.
Yusuf dari Arimatea: Tokoh Tanpa Jejak
Poin berikutnya yang dibongkar adalah tentang Yusuf dari Arimatea. Berdasarkan Markus 15:43, Yusuf digambarkan sebagai “a prominent council member”, anggota Sanhedrin yang memiliki kedudukan terhormat dan yang disebut-sebut meminta jasad Yesus dari Pilatus.
Namun ketika dikaji melalui situs BibleHub dan berbagai versi terjemahan Alkitab, ditemukan kekosongan lain: tidak ada bukti arkeologis atau historis bahwa kota “Arimatea” pernah ada pada masa Yesus hidup.
Arimatea: Kota Fiktif?
Dalam penelusuran literatur dan geografi, diketahui bahwa Arimatea tidak pernah tercatat dalam peta atau dokumen Yahudi pada abad pertama M. Kota itu diyakini baru muncul dalam catatan Kristen setelah abad ke-2. Bahkan jika lokasi itu dikaitkan dengan “Rama” atau “Ramatayim”, tempat kelahiran Nabi Samuel. Hal tersebut tetap tidak bisa dibenarkan secara ilmiah karena keduanya memiliki konteks geografis dan historis yang berbeda.
Mengapa Ini Penting?
Karena tokoh Yusuf dari Arimatea menjadi sentral dalam narasi pemakaman Yesus. Jika tokoh ini tidak eksis secara historis, maka keseluruhan narasi penyaliban dan penguburan menjadi runtuh. Bahkan disampaikan bahwa tidak mungkin ada anggota Sanhedrin (Dewan Tertinggi Yahudi) yang berasal dari daerah pemberontak seperti Rama atau Lod, yang saat itu dikuasai oleh kelompok pemberontak seperti Zelot dan Sikari. Roma akan menghancurkan siapa pun dari wilayah itu yang terlibat dalam lembaga keagamaan resmi.
Yodfat: Goa Kebenaran yang Dilupakan
Dalam ceramah ini, Ustaz Kainama mengajak audiens untuk melihat Yodfat Cave, situs gua di Tel Yodfat yang masih eksis hingga kini. Tempat ini menjadi pusat pembelajaran sejarah Yahudi dan kekristenan awal, namun sangat jarang diketahui atau dipahami oleh YouTuber dan TikToker Kristen yang mengaku ahli.
Temuan ini menunjukkan bahwa pengetahuan sejarah Kristen, bahkan di kalangan teolog sekalipun, seringkali dangkal dan minim riset. Banyak yang bahkan belum pernah membaca karya Historia Ecclesiastica dari Eusebius, padahal buku itu sangat penting dalam memahami sejarah gereja dan tafsirnya terhadap peristiwa-peristiwa besar seperti penyaliban.
Penyaliban Ada, Tapi Bukan Yesus
Dalam bagian penutup ceramah ini, Ustaz Ahmad Kainama menyoroti fakta-fakta akhir yang sangat menentukan dan semakin memperkuat argumentasi bahwa peristiwa penyaliban Yesus dan kehadiran tokoh Yusuf dari Arimatea adalah cerita fiktif yang dikonstruksi oleh para penyusun Injil demi menutupi kesenjangan sejarah dan keimanan.
Ustaz menjelaskan berdasarkan catatan dalam The Death of Jesus bahwa Yesus disebut wafat pada hari Jumat, 3 April tahun 33 Masehi, sekitar pukul tiga sore. Namun, yang menjadi persoalan besar adalah: Yusuf dari Arimatea, yang diklaim menurunkan tubuh Yesus dari salib dan mengkafani jasadnya, ternyata menurut data sejarah sudah meninggal pada tahun 30 Masehi, tiga tahun sebelumnya. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin seseorang yang telah meninggal dunia justru muncul tiga tahun kemudian untuk mengurus jenazah Yesus? Fakta ini saja sudah cukup membongkar kelemahan logika dan validitas narasi dalam kitab Perjanjian Baru.
Pertentangan Tradisi Yahudi dengan Narasi Yusuf dari Arimatea
Ceramah kemudian memasuki sesi tanya jawab. Seorang peserta bernama Amino menyampaikan pertanyaan berbobot dengan pendekatan linguistik dan teologis Yahudi. Ia menyoroti bahwa dalam Imamat 21:1 (Leviticus), para imam dilarang menjadi najis, apalagi menjelang hari raya Paskah. Tradisi keimaman Yahudi sangat ketat menjaga kesucian menjelang hari besar. Karena itu, tidak masuk akal jika ada tokoh bergelar Sanhedrin seperti Yusuf dari Arimatea menyentuh atau mengurus mayat pada malam sebelum Paskah. Ini bertentangan dengan hukum ritual Yahudi yang melarang menyentuh mayat dalam masa persiapan suci, yang dikenal dalam istilah “Aninut”, masa duka awal yang mengharuskan umat Yahudi menjauhi aktivitas keagamaan hingga jenazah dikuburkan.
Ustaz Kainama memperkuat jawaban ini dengan sumber dari situs My Jewish Learning yang menjelaskan bahwa bahkan orang Yahudi awam sangat menjaga diri dari kenajisan dalam masa menjelang Paskah, apalagi para pemuka agama. Maka, klaim bahwa Yusuf dari Arimatea yang disebut anggota Sanhedrin justru melibatkan diri langsung mengurusi jasad Yesus adalah tidak masuk akal baik secara teologis maupun historis.
Ketidaksesuaian Praktik Romawi dengan Kisah Penguburan Yesus
Lebih lanjut, Ustaz menjelaskan bahwa menurut sistem hukum Romawi, korban hukuman salib tidak dikuburkan dengan layak. Mayat mereka umumnya dibiarkan tergantung hingga membusuk, bahkan menjadi santapan burung nasar. Penurunan jasad secara manusiawi seperti dikisahkan dalam Injil tidak pernah menjadi bagian dari prosedur penyaliban Romawi. Maka, narasi bahwa Yesus diturunkan, dikafani dengan 50 kati rempah-rempah, dan dikuburkan dengan terhormat semakin menunjukkan adanya penyisipan cerita yang bersifat apologetik dan manipulatif dalam sejarah Injil.
Ustaz juga menyinggung bahwa ada indikasi kuat bahwa sebenarnya bukan Yesus yang disalib, melainkan Yudas Iskariot. Indikasi ini diambil dari penggambaran dalam Injil mengenai kematian Yudas: tubuhnya membusuk, perutnya pecah, dan isinya terburai, kondisi yang sesuai dengan mayat korban salib yang ditinggalkan lama tergantung. Hal ini menguatkan pandangan Islam bahwa Yesus tidak disalib, melainkan diselamatkan oleh Allah, dan wajah Yudas-lah yang diserupakan.
Asal-Usul Salib dan Tujuan DEsainnya dalam Sistem Penyiksaan Romawi
Salah satu pertanyaan terakhir dari Aki Herianto menyinggung asal-usul hukuman salib. Ustadz Kainama menjawab bahwa bentuk salib Romawi merupakan adaptasi dari simbol penyiksaan kuno yang berasal dari Babilonia dan Suriah. Bentuk ini yang kemudian dimodifikasi menjadi bentuk palang seperti yang kita kenal sekarang. Bahkan lebih jauh, salib seperti itu juga menyerupai simbol keagamaan Mesir kuno, yang dikenal sebagai ankh. Ini menunjukkan bahwa bentuk salib bukanlah simbol suci Kristen sejak awal. Bentuk salib melainkan hasil adaptasi dan adopsi dari budaya pagan dan imperium sebelumnya.
Dalam bagian akhir ceramahnya, Ustaz menjelaskan alasan teknis mengapa bentuk salib dibuat sedemikian rupa oleh Romawi. Hal ini bertujuan agar tubuh korban tetap lurus, dan siksaan terjadi secara maksimal. Ketika korban menggantung, upaya menarik napas akan merobek pembuluh darah di tangan. Ini akan menyebabkan paru-paru tergenang cairan dan itulah penyebab kematian, bukan karena luka paku atau kelelahan semata.
Mualaf Center Nasional AYA SOFYA Indonesia Adalah Lembaga Sosial. Berdiri Untuk Semua Golongan. Membantu dan Advokasi Bagi Para Mualaf di Seluruh Indonesia. Dengan Founder Ust. Insan LS Mokoginta (Bapak Kristolog Nasional).
ANDA INGIN SUPPORT KAMI UNTUK GERAKAN DUKUNGAN BAGI MUALAF INDONESIA?
REKENING DONASI MUALAF CENTER NASIONAL AYA SOFYA INDONESIA
BANK MANDIRI 141-00-2243196-9
AN. MUALAF CENTER AYA SOFYA
SAKSIKAN Petualangan Dakwah Seru Kami Di Spesial Channel YouTube Kami:
MUALAF CENTER AYA SOFYA
MEDIA AYA SOFYA
Website: www.ayasofya.id
Facebook: Mualaf Center AYA SOFYA
YouTube: MUALAF CENTER AYA SOFYA
Instagram: @ayasofyaindonesia
Email: ayasofyaindonesia@gmail.com
HOTLINE:
+62 851-7301-0506 (Admin Center)
CHAT: wa.me/6285173010506
+62 8233-121-6100 (Ust. Ipung)
CHAT: wa.me/6282331216100
+62 8233-735-6361 (Ust. Fitroh)
CHAT: wa.me/6282337356361
ADDRESS:
MALANG: INSAN MOKOGINTA INSTITUTE, Puncak Buring Indah Blok Q8, Citra Garden, Kota Malang, Jawa Timur.
PURWOKERTO: RT.04/RW.01, Kel. Mersi, Kec. Purwokerto Timur., Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
SIDOARJO: MASJID AYA SOFYA SIDOARJO, Pasar Wisata F2 No. 1, Kedensari, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.
SURABAYA: Purimas Regency B3 No. 57 B, Kec. Gn. Anyar, Kota SBY, Jawa Timur 60294.
TANGERANG: Jl. Villa Pamulang No.3 Blok CE 1, Pd. Benda, Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten 15416
BEKASI: Jl. Bambu Kuning IX No.78, RT.001/RW.002, Sepanjang Jaya, Kec. Rawalumbu, Kota Bks, Jawa Barat 17114