PENDETA MASUK ISLAM!! LAHIRKAN ATLET KARATE JUARA DUNIA

Di sebuah kawasan yang dijuluki warga sekitar sebagai “Texas-nya Menteng Tenggulun”, berdiri sebuah rumah kontrakan sederhana yang menyimpan kisah luar biasa. Dari tempat inilah, seorang mantan pendeta bernama Maksi Lodewic Deeng, yang dulu dikenal sebagai misionaris penerbangan di Papua dan Filipina, kini hidup sebagai Tuan Guru, pembina keluarga Islami yang menanamkan semangat dakwah dan prestasi kepada anak-anaknya.

Dari Tiga Tuhan Menjadi Satu Kalimat Tauhid

Perjalanan spiritual Maksi Deeng bukanlah kisah biasa. Dahulu ia seorang pendeta Kristen yang meyakini konsep Tritunggal Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Namun hidayah Allah menuntunnya pada keimanan yang lurus.

“Dulu Tuhannya tiga,” ujarnya sambil tersenyum, “sekarang hanya satu, La ilaha illallah.”

Perubahan besar itu terjadi bukan karena perdebatan, melainkan proses panjang pencarian kebenaran. Ia sempat ditugaskan sebagai misionaris penerbangan (aviation missionary), menerbangkan pesawat kecil menuju pedalaman Papua dan beberapa kali bertugas ke Filipina. Namun, dalam perjalanannya, keyakinan yang dulu ia junjung mulai ia pertanyakan sendiri.

Kini, lelaki asal Tondano, Minahasa, Manado dengan darah keturunan Belanda ini, justru menjadi pengajar agama Islam. Bersama istrinya yang juga mualaf, mereka hidup sederhana di rumah kontrakan yang sekaligus menjadi pondok kecil tempat belajar agama bagi warga sekitar.

Hadiah Umrah dan Keajaiban Tanah Suci

Tujuh tahun setelah pertemuan pertamanya dengan para pembina mualaf, Tuan Guru Maksi kembali dikunjungi oleh seorang ustaz yang dulu diperintahkan almarhum Ustaz Insan R.S. Mogintah untuk mencarinya. Kini, pertemuan itu penuh haru, karena Maksi baru saja pulang dari ibadah umrah.

“Rasanya tidak ingin pulang,” ungkapnya lirih. “Bisa menginjakkan kaki di Tanah Suci saja sudah seperti keajaiban untuk saya.”

Perjalanan umrah tersebut merupakan hadiah dari keluarga Ibu Hajah Sintawati di Jakarta. Tak hanya perjalanan spiritual gratis, beliau juga menerima uang saku yang tak disangka-sangka.

“Di dompet saya waktu itu hanya tinggal Rp150.000. Tapi ternyata Allah berikan rezeki tak terduga, uang saku sebesar Rp45 juta. Subhanallah.”

Maksi mengaku menangis di depan Ka’bah, memanjatkan doa agar suatu hari ia bisa kembali ke sana bersama istri dan anak-anaknya.

“Saya berdoa, ‘Ya Allah, izinkan anak dan istri hamba bisa umrah bersama.’”

Hingga kini, kenangan itu masih menempel kuat dalam hatinya. Ia bahkan menuturkan bahwa sepulang dari Tanah Suci, ia merasakan perubahan spiritual yang dalam.

“Setiap kali azan, anak-anak saya langsung bangun. Kalau dulu masih malas, sekarang berebut untuk salat. Subhanallah, suasana rumah jadi beda.”

Keluarga Pejuang Prestasi: Dari Rumah Sederhana Lahir Para Juara

Selain menanamkan nilai-nilai tauhid, Tuan Guru Maksi juga mendidik anak-anaknya dengan disiplin tinggi. Dua putranya, Muhammad Alvian Deeng (19 tahun) dan Alan Budiman Deeng (17 tahun), dikenal sebagai atlet karate nasional dengan sederet prestasi membanggakan.

Dari rumah kontrakan sederhana yang juga berfungsi sebagai pondok belajar, terpajang puluhan piala dan medali emas dari berbagai ajang, mulai dari tingkat kota, provinsi, hingga nasional.

Beberapa di antaranya:

  • Muhammad Alvian Deeng, Juara 1 Olimpiade Siswa Nasional (O2SN) 2023 tingkat kota Jakarta Pusat.
  • Juara 1 Junior Kata Beregu Forki, DKI Jakarta.
  • Juara Nasional Kemenpora Karate 2021.
  • Juara 1 Kejuaraan Nasional AVIOS Karate.
  • Juara Internasional di ajang Uniska Open 2021.

Sementara adiknya, Alan Budiman Deeng, juga tidak kalah cemerlang:

  • Juara 1 Karate Komite Perorangan Putra, Dinas Pendidikan Wilayah 1 DKI Jakarta.
  • Juara 2 Poprof DKI 2025, cabang Kata.
  • Juara Nasional Kemenpora 2023.

Deretan prestasi itu memenuhi dinding ruang tamu mereka. “Kalau medali ini emas sungguhan,” gurau sang ustaz yang berkunjung, “sudah bisa beli rumah besar.”

Namun Maksi tidak melihat prestasi itu sekadar kebanggaan dunia. Ia ingin membentuk karakter dan akhlak Islam dalam setiap langkah anak-anaknya.

“Saya tidak pernah menonjolkan diri,” katanya rendah hati. “Yang penting anak-anak belajar disiplin, tangguh, dan tetap menjaga salat.”

Dari Tondano ke Menteng: Menanamkan Nilai Dakwah di Tengah Minoritas

Sebagai seorang mualaf dari keluarga besar Kristen Minahasa, perjalanan hidup Maksi tidak mudah. Ia sempat dijauhi, bahkan kehilangan pekerjaan setelah keislamannya diketahui. Namun tekadnya untuk menegakkan tauhid tak pernah surut.

Kini, ia justru menjadi motivator bagi generasi muda muslim di lingkungannya. Ia kerap berkata kepada anak-anak dan santri kecil di sekitar pondoknya:

“Jangan kalah dengan tetangga-tetangga kalian yang masih non-Muslim. Tunjukkan bahwa kita bisa sukses di dunia dan di akhirat.”

Kata-kata itu bukan sekadar semangat kosong. Ia buktikan sendiri lewat perjuangannya mendidik dua anak yang bukan hanya hafal Al-Qur’an, tapi juga juara nasional karate.

Kisah yang Menginspirasi

Kisah Tuan Guru Maksi Deeng adalah gambaran nyata bagaimana hidayah Allah dapat mengubah arah hidup seseorang secara total. Dari seorang pendeta misionaris yang terbang ke pelosok negeri, menjadi seorang pengajar agama yang membina keluarga dengan iman dan amal saleh.

Ia menutup kisahnya dengan pesan lembut namun mendalam:

“Di dunia ini, apa sih yang kita cari? Semua akan hilang kalau bukan karena Allah. Sahabat-sahabat Rasulullah mengorbankan segalanya untuk dakwah. Jadi kalau kita bisa jadi orang hebat di dunia dan ikut berdakwah di jalan Allah, itu lebih mulia.”

Mendidik dengan Cinta, Membentuk dengan Ketegasan

Suasana haru dan bangga kembali terasa dalam lanjutan dialog antara Ustaz dan keluarga mualaf yang dikenal sangat disiplin mendidik anak-anaknya dalam bidang bela diri. Setelah sebelumnya diceritakan bagaimana dua bersaudara, Alvian dan Alan, sering diadu di arena pertandingan untuk mengasah mental juara, kini terungkap kisah lebih mendalam tentang proses panjang mereka hingga menyandang sabuk hitam dan dua (Dan II), sebuah pencapaian yang sangat prestisius di dunia karate.

Sang ayah menceritakan dengan mata berbinar bagaimana keduanya tumbuh dalam suasana kompetitif, namun tetap berlandaskan kasih dan hormat antarsaudara.

“Saya selalu tanamkan pada anak-anak, adik jangan pernah merasa lebih hebat dari abangnya. Hargai abangmu,” ujar sang ayah dengan nada lembut namun tegas.
“Dan alhamdulillah, mereka tumbuh dengan sikap saling menghormati dan saling mendukung.”

Kini, kedua anak itu bukan hanya menjadi juara nasional, tetapi juga pelatih muda yang melatih murid-murid SD hingga SMA, prestasi luar biasa untuk usia belasan tahun.

Sabuk Hitam Bukan Sekadar Warna

Di hadapan Ustaz, sang ayah menunjukkan sabuk-sabuk hitam milik kedua anaknya dengan penuh kebanggaan. Sabuk hitam, atau dalam istilah karate disebut “Dan”, ternyata memiliki tingkatan tersendiri. Dimulai dari sabuk putih, kuning, hijau, biru, coklat, hingga akhirnya hitam, namun setelah sabuk hitam pun masih ada jenjang lanjutan: Dan I, Dan II, Dan III, hingga Dan IX, yang merupakan puncak keahlian karate di Indonesia.

“Untuk mencapai Dan II saja butuh waktu minimal dua tahun setelah Dan I,” jelasnya,
“Dan sabuk ini kami pesan langsung dari Jepang, tapi karena stok habis, kami pakai sabuk lokal. Walaupun sederhana, nilainya penuh perjuangan.”

Sabuk yang tampak lusuh itu justru menyimpan kisah perjuangan bertahun-tahun, keringat, air mata, dan semangat juang yang tak pernah padam, simbol nyata dari kedisiplinan yang ditanamkan dalam keluarga ini.

Tempeleng Motivasi: Ketika Ketakutan Diubah Menjadi Keberanian

Dalam momen wawancara, Alvian, sang kakak, dengan jujur menceritakan pengalaman tak terlupakan ketika hendak bertanding melawan lawan bertubuh besar.

“Waktu itu saya ragu, Ustaz. Lawan saya tinggi, besar. Saya takut,” katanya sambil tersenyum malu.
“Tapi Papa langsung tempeleng saya. Kena di pipi, ada bekas lima jari. Papa bilang, ‘Kenapa kamu takut? Lawan itu kecil, kamu bisa!’”

Tamparan itu bukan kemarahan, tapi bentuk motivasi keras yang hanya bisa dipahami oleh anak yang dibesarkan dalam cinta penuh disiplin. Sejak saat itu, ketakutan berubah menjadi keberanian. Alvian maju ke arena dengan tekad baja,dan akhirnya keluar sebagai juara satu.

Sang ayah tersenyum mengenang peristiwa itu, “Saya bukan marah. Saya mau dia fokus. Kadang anak perlu ‘disentuh’ dengan keras agar sadar dia kuat.”

Mualaf yang Tangguh, Muslim yang Juara

Dalam setiap latihan, sang ayah selalu mengingatkan anak-anaknya bahwa mereka bukan sekadar atlet, tapi juga anak-anak mualaf yang membawa nama baik Islam.

“Saya bilang ke mereka: kalian anak-anak muslim, anak-anak mualaf. Harus tangguh. Harus jadi juara. Jangan kalah sama yang lain.”

Kalimat itu tertanam kuat di hati kedua anaknya. Maka tak heran jika dalam setiap kejuaraan, mereka selalu tampil penuh semangat dan pantang menyerah.
Bagi keluarga ini, kemenangan bukan hanya soal piala atau medali, tetapi tentang mengharumkan nama Islam dan membuktikan ketangguhan umat.

Karate Masuk Sekolah Muhammadiyah

Menariknya, perjalanan mereka juga menginspirasi dunia pendidikan. Saat Ustaz berkunjung ke SD Muhammadiyah tempat mereka berlatih, beliau dibuat kagum karena karate justru menjadi ekstrakurikuler wajib di sekolah tersebut.

“Saya sempat heran, ini sekolah Muhammadiyah kok ekstranya karate, bukan tapak suci?” kata Ustaz sambil tertawa kecil.
“Ternyata, pelatih tapak suci di sana kadang datang, kadang tidak. Akhirnya karate jadi lebih diminati.”

Kedatangan keluarga ini membuat karate di sekolah itu berkembang pesat, bahkan menghasilkan juara-juara baru di tingkat nasional.
Hal ini menjadi refleksi penting bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam agar pembinaan kader di bidang olahraga tidak terhenti karena kurangnya pelatih aktif.

Dari Dojo ke Pasar: Keteguhan Seorang Juara

Meski telah berprestasi tinggi, kehidupan keluarga ini tetap sederhana.
Alvian, sang juara nasional, kini bekerja mengangkat galon air mineral di Pasar Rumput sambil tetap menjadi pelatih karate.

“Saya izinkan dia kerja, biar belajar mandiri,” kata sang ayah.
“Gajinya enam puluh ribu per hari, tapi bukan soal uangnya. Ini soal mental tangguh dan pengalaman hidup.”

Pekerjaan itu tak mengurangi wibawa seorang juara, justru menambah makna dari kata disiplin dan rendah hati.

Cita-cita Menjadi Prajurit TNI

Ketika ditanya tentang cita-cita, Alvian menjawab mantap:

“Saya ingin masuk Akmil, Pak Ustaz.”

Ia belum mendaftar karena menunggu pembukaan pendaftaran tahun depan, sambil bekerja dan melatih anak-anak di sekolah.
Ustaz yang mendengar hal itu berharap agar pemerintah dan institusi militer memperhatikan anak-anak berprestasi seperti Alvian.

“Anak seperti ini layak jadi kader bangsa. Juara karate nasional, sabuk hitam, disiplin, dan tangguh. Nilai-nilai bela dirinya sejalan dengan semangat TNI.”

Harapan untuk Generasi Muda Muslim

Kisah keluarga ini adalah cermin dari pendidikan islami yang hidup, bukan sebatas ceramah atau teori, tapi lewat keteladanan, kedisiplinan, dan semangat berjuang.

Dari sabuk yang lusuh, dari tangan yang keras menempeleng karena cinta, dari keringat di dojo hingga kerja keras di pasar, semua itu mengajarkan makna sejati dari jihad kecil dalam kehidupan sehari-hari.

Islam tidak hanya melahirkan orang yang banyak bicara, tapi juga orang yang kuat, sabar, dan berprestasi.
Anak-anak mualaf ini telah membuktikannya.

Semoga kisah Alvian dan Alan Budiman menjadi inspirasi bagi banyak keluarga muslim — bahwa iman tidak bertentangan dengan semangat juang, dan bahwa kedisiplinan yang dibingkai dengan cinta dapat melahirkan generasi tangguh, rendah hati, dan membanggakan umat.


Mualaf Center Nasional AYA SOFYA Indonesia Adalah Lembaga Sosial. Berdiri Untuk Semua Golongan. Membantu dan Advokasi Bagi Para Mualaf di Seluruh Indonesia. Dengan Founder Ust. Insan LS Mokoginta (Bapak Kristolog Nasional).


ANDA INGIN SUPPORT KAMI UNTUK GERAKAN DUKUNGAN BAGI MUALAF INDONESIA?

REKENING DONASI MUALAF CENTER NASIONAL AYA SOFYA INDONESIA
BANK MANDIRI 141-00-2243196-9
AN. MUALAF CENTER AYA SOFYA


SAKSIKAN Petualangan Dakwah Seru Kami Di Spesial Channel YouTube Kami:

MUALAF CENTER AYA SOFYA

PRODUK PARFUM AYA SOFYA


MEDIA AYA SOFYA

Website: www.ayasofya.id

Facebook: Mualaf Center AYA SOFYA

YouTube: MUALAF CENTER AYA SOFYA

Instagram: @ayasofyaindonesia

Email: ayasofyaindonesia@gmail.com


HOTLINE:

+62 851-7301-0506 (Admin Center)
CHAT: wa.me/6285173010506

+62 8233-121-6100 (Ust. Ipung)
CHAT: wa.me/6282331216100

+62 8233-735-6361 (Ust. Fitroh)
CHAT: wa.me/6282337356361


ADDRESS:

MALANG: INSAN MOKOGINTA INSTITUTE, Puncak Buring Indah Blok Q8, Citra Garden, Kota Malang, Jawa Timur.

PURWOKERTO: RT.04/RW.01, Kel. Mersi, Kec. Purwokerto Timur., Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah

SIDOARJO: MASJID AYA SOFYA SIDOARJO, Pasar Wisata F2 No. 1, Kedensari, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.

SURABAYA: Purimas Regency B3 No. 57 B, Kec. Gn. Anyar, Kota SBY, Jawa Timur 60294.

TANGERANG: Jl. Villa Pamulang No.3 Blok CE 1, Pd. Benda, Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten 15416

BEKASI: Jl. Bambu Kuning IX No.78, RT.001/RW.002, Sepanjang Jaya, Kec. Rawalumbu, Kota Bks, Jawa Barat

DEPOK: Jl. Tugu Raya Jl. Klp. Dua Raya, Tugu, Kec. Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat 16451

BOGOR: Jl. Komp. Kehutanan Cikoneng No.15, Pagelaran, Kec. Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.