Jembatan di Antara Dua Dunia: Dari Gereja ke Masjid, dari Keyakinan ke Pencarian
Di sebuah sore yang teduh di Jakarta, suasana di Mualaf Center Aya Sofya terasa berbeda dari biasanya. Biasanya tempat ini dipenuhi lantunan takbir, tadarus, dan kisah-kisah syahadat penuh haru. Tapi kali ini, yang hadir bukan hanya para mualaf atau jamaah muslim, melainkan juga seorang tamu istimewa Pak Lamsen Naibaho, seorang teolog dan mantan penginjil yang datang bukan untuk berdebat, melainkan untuk berdialog.
Kedatangannya disambut hangat oleh Ustaz Ahmad Kainama dan Ustaz Ipung Atria, dua pembina mualaf yang dikenal karena keilmuan dan kelembutan dakwahnya.
Hari itu, mereka duduk sejajar di ruang sederhana, dengan segelas air putih di atas meja dan beberapa mushaf terbuka di sisi mereka. Kamera menyorot wajah-wajah yang berseri namun penuh kehati-hatian: bukan untuk membuktikan siapa yang menang, melainkan untuk mencari kebenaran dan kedamaian dalam ilmu.
Pertemuan Tak Biasa: Ketika Mantan Penginjil Menyapa Mualaf
Pak Lamsen Naibaho bukan orang sembarangan. Ia datang dari latar belakang pelayan gereja dan memiliki bekal pengetahuan teologi yang cukup dalam. Ia pernah berdiri di mimbar, mengajar Alkitab, dan membimbing jemaat. Namun hari itu, ia datang ke Mualaf Center dengan hati terbuka.
“Saya datang bukan untuk berdebat,” katanya di awal pertemuan.
“Saya ingin belajar, ingin memahami. Sebab semakin saya membaca kitab saya, semakin banyak pertanyaan yang muncul.Ucapannya membuat Ustaz Kainama tersenyum lembut.
“Alhamdulillah,” jawabnya, “di sinilah letak keindahan Islam. Kita tidak menutup pintu dialog. Kita berdiskusi dengan akal sehat, dengan hati yang tenang, dan dengan dalil yang jelas.”
Suasana pun mencair. Ketegangan yang mungkin ada di awal perlahan berubah menjadi kehangatan.
Ketika Kitab Dibaca dengan Jujur
Ustaz Ahmad Kainama, yang dikenal luas karena kemampuan akademisnya dalam membedah teks-teks kitab suci, membuka percakapan dengan pendekatan yang sederhana namun menohok.
“Bapak tahu,” ujarnya pelan, “di dalam kitab Bapak, nama ‘Allah’ itu ada puluhan kali. Tapi sayangnya, umat Kristen sekarang lebih mengenal ‘Tuhan’ dalam bentuk tiga pribadi — Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Padahal kalau kita kembali ke teks aslinya, para nabi tidak pernah menyebut Tuhan dengan konsep itu.”
Pak Lamsen mendengarkan dengan khusyuk. Ia tahu Ustaz Kainama bukan hanya berbicara dari keyakinan, tapi dari teks.
Kainama menjelaskan bagaimana banyak kata dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru telah diterjemahkan berulang kali dari Ibrani ke Yunani, lalu ke Latin, hingga akhirnya ke bahasa modern. Dalam proses panjang itu, banyak makna asli yang terdistorsi.
“Contohnya,” kata Kainama sambil membuka laptop kecil, “dalam kitab Yohanes 17:3 disebutkan:
‘Inilah hidup yang kekal itu, yaitu mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang Engkau utus.’
Itu bukan kalimat dari seorang Tuhan, tapi dari seorang utusan Tuhan.”
Pak Lamsen terdiam sejenak. Ia tampak merenung.
“Betul,” katanya perlahan, “kalimat itu sering saya baca, tapi saya tak pernah memandangnya dari sisi itu.”
Dari Yohanes ke Al-Fatihah
Ustaz Ipung Atria, yang duduk di sebelahnya, menimpali dengan gaya yang hangat dan ringan. Ia ingin agar suasana tetap cair.
“Bapak tahu,” katanya, “kalau ayat Yohanes 17:3 itu dibandingkan dengan Al-Fatihah, maknanya sejalan.
Di Al-Fatihah kita baca: ‘Alhamdulillahi rabbil ‘alamin’ Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
Artinya, hanya ada satu Tuhan yang menguasai segalanya. Sama seperti yang dikatakan Yesus dalam ayat itu.”
Semua yang hadir mengangguk. Terlihat jelas bahwa inti dari pembicaraan mereka bukan tentang siapa yang paling benar, tetapi siapa yang paling setia pada ajaran para nabi.
Ketika Logika Menyapa Iman
Diskusi kemudian berkembang ke pembahasan tentang konsep Trinitas.
Sebagai mantan penginjil, Pak Lamsen paham betul tentang dogma itu. Tapi ketika Ustaz Kainama mulai mengupasnya dari sisi rasional, ia terlihat mulai berpikir lebih dalam.
“Kalau Tuhan itu tiga, lalu satu, bagaimana penjelasan rasionalnya?” tanya Kainama.
“Apakah Bapak mau mengatakan Bapa adalah Tuhan, Yesus adalah Tuhan, dan Roh Kudus adalah Tuhan, tapi mereka bukan tiga Tuhan, melainkan satu? Itu bukan konsep tauhid, itu konsep matematik yang tidak selesai.”
Pak Lamsen tidak langsung menjawab. Ia menunduk sejenak, lalu berkata dengan jujur,
“Itu memang bagian paling sulit dijelaskan dalam teologi Kristen. Kami dulu hanya diminta menerima dengan iman.”
Ustaz Ipung tersenyum, menepuk bahu tamunya.
“Nah, di sinilah bedanya, Pak. Dalam Islam, iman tidak buta. Iman dan akal berjalan seiring. Allah memerintahkan kita berpikir. Dalam Al-Qur’an lebih dari 700 kali Allah berfirman ‘afala ta‘qilun?’ tidakkah kamu berpikir?”
Dari Injil ke Al-Qur’an: Kesempurnaan Wahyu
Kainama kemudian menunjukkan beberapa ayat dari Al-Qur’an yang berbicara tentang Isa (Yesus).
“Kami tidak menolak Yesus, Pak. Kami menghormati beliau sebagai nabi dan rasul yang diutus Allah. Bahkan dalam Al-Qur’an, beliau disebut Al-Masih Isa ibn Maryam. Tapi Al-Qur’an menolak penuhanan beliau.”
Ia lalu membaca surat Al-Ma’idah ayat 116, tentang dialog Allah dengan Isa kelak di hari kiamat:
“Hai Isa anak Maryam, adakah engkau mengatakan kepada manusia: jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?”
Isa menjawab, “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku.”
Suasana hening.
Kata-kata itu menusuk lembut, bukan sebagai serangan, melainkan sebagai cahaya.
Pak Lamsen tampak tergetar.
“Saya baru tahu ayat itu,” katanya pelan. “Saya kira Islam menolak Yesus, ternyata malah memuliakannya.”
“Justru Islamlah,” jawab Kainama lembut, “yang mengembalikan Isa kepada posisi sejatinya — sebagai hamba Allah yang diutus membawa risalah tauhid.”
Bahasa Ibrani, Yunani, dan Iman yang Terjaga
Percakapan kemudian beralih ke aspek linguistik.
Ustaz Kainama menjelaskan bagaimana dalam bahasa Ibrani, nama Tuhan adalah Elohim, bentuk jamak dari Eloah, yang berarti Tuhan. Tapi jamak di sana bukan berarti banyak Tuhan, melainkan bentuk penghormatan (jamak keagungan), sebagaimana kita mengatakan “Kami” untuk menyebut diri sendiri dengan penuh wibawa.
“Jadi, bukan karena Tuhan banyak,” jelas Kainama.
“Melainkan karena bahasa Ibrani kuno punya bentuk plural of majesty. Tapi dalam terjemahan Yunani dan Latin, bentuk itu salah dimengerti menjadi ‘banyak pribadi’. Dari situlah akar Trinitas muncul.”
Pak Lamsen mengangguk-angguk. Ia pernah mempelajari hal itu di seminari, tapi penjelasan malam itu terasa lebih jernih.
“Kalau saja dulu saya mendengar ini,” katanya lirih, “mungkin saya sudah mencari lebih cepat.”
Ustaz Ipung: Dakwah Itu Bukan Menang, Tapi Menyentuh Hati
Di tengah suasana serius, Ustaz Ipung sesekali menyelipkan tawa ringan agar percakapan tidak kaku. Tapi setiap kalimatnya sarat makna.
“Dakwah itu bukan soal menang atau kalah, Pak,” katanya.
“Kita bukan debat kusir. Dakwah itu mengajak, bukan menyerang. Kalau hati sudah tersentuh, Allah sendiri yang memberi hidayah.”
Ia mencontohkan kisah banyak mualaf yang datang ke Aya Sofya. Ada yang masuk Islam karena membaca, ada yang karena mimpi, ada pula yang karena logika. Tapi semuanya memiliki benang merah: ketenangan hati setelah menemukan Tauhid.
“Bapak tahu apa bedanya Islam dengan keyakinan sebelumnya?” tanya Ustadz Ipung lembut.
“Kalau di sana Tuhan disalib, di sini Tuhan tidak bisa disalib. Kalau di sana Tuhan menyesal menciptakan manusia, di sini Allah Maha Tahu dan tidak pernah menyesal. Islam memuliakan Tuhan dengan kesempurnaan yang mutlak.”
Dari Panggung Gereja ke Ruang Kajian: Kembali ke Fitrah
“Dulu saya juga berdiri di panggung gereja, berceramah, mengajak orang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan. Tapi sekarang, setelah saya membaca lebih dalam, saya menemukan banyak kejanggalan yang dulu saya abaikan.”
Ia mengaku sering membaca Al-Qur’an secara diam-diam sejak pandemi.
Ia kagum karena dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang bertentangan, tidak ada pengakuan penulis, dan semuanya dimulai dengan nama Allah.
“Dalam kitab saya dulu,” katanya, “ada banyak surat tanpa nama penulis, bahkan beberapa saling bertentangan. Tapi Al-Qur’an rapi dan konsisten.”
“Itulah sebabnya Allah berfirman:
‘Sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan mendapati banyak pertentangan di dalamnya.’ (QS. An-Nisa: 82)”
Mualaf Center: Rumah untuk Semua yang Mencari
Malam semakin larut, tapi tak seorang pun ingin segera pulang.
Suasana Mualaf Center Aya Sofya terasa seperti rumah yang memeluk siapa saja yang datang dengan niat baik, tanpa melihat latar belakang agama.
Ustadz Ipung bercerita bahwa banyak mantan pendeta, biarawati, bahkan dosen teologi yang datang ke tempat itu hanya untuk bertanya.
Tidak semua langsung bersyahadat, tapi semuanya pulang dengan ketenangan.
“Kami tidak pernah memaksa siapa pun,” kata Ipung.
“Kami hanya menjawab dengan ilmu, dan selebihnya kami serahkan kepada Allah.”
Dialog yang Membuka Jalan Hidayah
Menjelang akhir pertemuan, Pak Lamsen tampak semakin tenang.
Ia mengucapkan terima kasih kepada Ustaz Kainama dan Ustaz Ipung karena telah membuka ruang dialog tanpa prasangka.
“Saya mungkin belum bisa langsung mengambil keputusan besar,” katanya, “tapi hari ini saya menemukan kedamaian yang sudah lama saya cari.”
“Tidak apa-apa, Pak. Hidayah itu milik Allah. Tugas kami hanya menyampaikan.” Tegas Ustadz Kainama.
“Yang penting,” tambah Ustadz Ipung, “Bapak sudah mulai berjalan ke arah cahaya. Satu langkah kecil menuju Allah lebih berarti daripada seribu langkah ke arah dunia.”
Jalan Panjang Menuju Cahaya
Islam tidak memaksa, tapi memanggil. Allah tidak tergesa, tapi menunggu. Dan setiap pencari kebenaran, cepat atau lambat, akan tiba di pintu yang sama, pintu yang bertuliskan “Laa ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah.”
Pertemuan itu mungkin tampak sederhana: tiga orang berbicara di ruang kecil, dengan kamera sederhana dan suasana penuh kehangatan. Tapi di balik itu, ada sejarah besar — sejarah hidayah yang pelan-pelan menembus dinding keyakinan lama.
Karena kadang, hidayah tidak datang lewat mimpi atau mukjizat besar, tapi lewat percakapan lembut, secangkir teh, dan hati yang ikhlas untuk mendengarkan.
Mualaf Center Nasional AYA SOFYA Indonesia Adalah Lembaga Sosial. Berdiri Untuk Semua Golongan. Membantu dan Advokasi Bagi Para Mualaf di Seluruh Indonesia. Dengan Founder Ust. Insan LS Mokoginta (Bapak Kristolog Nasional).
ANDA INGIN SUPPORT KAMI UNTUK GERAKAN DUKUNGAN BAGI MUALAF INDONESIA?
REKENING DONASI MUALAF CENTER NASIONAL AYA SOFYA INDONESIA
BANK MANDIRI 141-00-2243196-9
AN. MUALAF CENTER AYA SOFYA
SAKSIKAN Petualangan Dakwah Seru Kami Di Spesial Channel YouTube Kami:
MUALAF CENTER AYA SOFYA
MEDIA AYA SOFYA
Website: www.ayasofya.id
Facebook: Mualaf Center AYA SOFYA
YouTube: MUALAF CENTER AYA SOFYA
Instagram: @ayasofyaindonesia
Email: ayasofyaindonesia@gmail.com
HOTLINE:
+62 851-7301-0506 (Admin Center)
CHAT: wa.me/6285173010506
+62 8233-121-6100 (Ust. Ipung)
CHAT: wa.me/6282331216100
+62 8233-735-6361 (Ust. Fitroh)
CHAT: wa.me/6282337356361
ADDRESS:
MALANG: INSAN MOKOGINTA INSTITUTE, Puncak Buring Indah Blok Q8, Citra Garden, Kota Malang, Jawa Timur.
PURWOKERTO: RT.04/RW.01, Kel. Mersi, Kec. Purwokerto Timur., Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
SIDOARJO: MASJID AYA SOFYA SIDOARJO, Pasar Wisata F2 No. 1, Kedensari, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.
SURABAYA: Purimas Regency B3 No. 57 B, Kec. Gn. Anyar, Kota SBY, Jawa Timur 60294.
TANGERANG: Jl. Villa Pamulang No.3 Blok CE 1, Pd. Benda, Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten 15416
BEKASI: Jl. Bambu Kuning IX No.78, RT.001/RW.002, Sepanjang Jaya, Kec. Rawalumbu, Kota Bks, Jawa Barat
DEPOK: Jl. Tugu Raya Jl. Klp. Dua Raya, Tugu, Kec. Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat 16451
BOGOR: Jl. Komp. Kehutanan Cikoneng No.15, Pagelaran, Kec. Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16610