Di salah satu episode YouTube Mualaf Center Aya Sofya, hadir seorang tamu yang datang jauh-jauh dari kota Bogor. Sosoknya sederhana, ramah, dan penuh ketulusan ketika bercerita. Namanya Stefanus Hanzen, atau akrab disapa Mas Stefanus. Ia datang bukan untuk mencari sensasi, tetapi untuk berbagi perjalanan panjang yang membawanya menemukan cahaya Islam setelah melewati masa-masa panjang pencarian dan pergulatan batin.
Awal yang Tak Terduga: Hidayah dari Lagu
Setiap orang memiliki jalan hidayah yang unik. Bagi Stefanus, semuanya bermula bukan dari buku agama atau diskusi teologis, tetapi dari sesuatu yang tak disangka-sangka, lagu-lagu dari Wali Band.
“Saya dulu anti banget sama Islam,” ujarnya sambil tersenyum mengingat masa lalunya. “Tapi entah kenapa, waktu SMP saya suka banget lagu-lagu Wali Band. Padahal saya nggak tahu maknanya dalam banget, tapi setiap dengar itu hati saya adem.”
Wali Band, yang dikenal dengan lirik bernuansa dakwah dan ketauhidan, menjadi jalan awal datangnya rasa ingin tahu. Di usia remaja, Stefanus mulai merasakan getaran aneh dalam hati setiap kali mendengarkan lagu-lagu tersebut. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada sesuatu yang berbeda semacam panggilan halus yang belum bisa dijelaskan.
Mimpi yang Menggetarkan
Di tengah rasa penasaran itu, Allah menunjukkan tanda yang lebih besar.
Suatu malam, Stefanus bermimpi berada di tempat yang sangat terang, benderang sekali. Dalam mimpi itu, seseorang berpakaian gamis putih datang menghampirinya dan memberikan Al-Qur’an.
“Saya pegang kitab itu, dan tiba-tiba tubuh saya bergetar hebat. Saya kaget, bingung, tapi dalam mimpi itu saya merasa tenang,” kenangnya.
Ketika bangun, suasana hatinya berubah total. Ia tidak bisa menjelaskan, tapi sejak saat itu pikirannya terus tertuju pada mimpi tersebut. Ia mulai merenung, adakah pesan dari mimpi itu? Mengapa ia diberikan Al-Qur’an?
Pergulatan di Tengah Keluarga Katolik
Stefanus lahir dan tumbuh dalam keluarga Katolik. Ibunya bahkan pernah berpindah dari Konghucu sebelum akhirnya memeluk Kekristenan. Kakaknya pun aktif dalam pelayanan gereja. Keluarga ini tergolong taat beragama, dan Stefanus sendiri sempat menjadi bagian dari Gereja Bethel Indonesia (GBI).
Namun setelah mimpi itu, ada sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Ia mulai mempertanyakan banyak hal, bukan untuk membantah, tetapi karena hatinya gelisah.
“Waktu itu saya masih SMP kelas 3,” tuturnya. “Anak seusia saya biasanya main, nongkrong, tapi saya malah bingung mikirin Tuhan. Rasanya ada yang harus saya temukan.”
Dari Gereja ke Masjid: Langkah Awal Mengenal Islam Untuk Menjadi Mualaf
Setelah lulus SMP, keluarganya pindah ke Bogor. Ia melanjutkan sekolah di SMK PGRI 1 Cibinong tanpa tahu sebelumnya bahwa sekolah tersebut dikenal sangat Islami. Hampir seluruh siswa dan guru di sana beragama Islam.
“Lucunya, dari awal sampai akhir hidup saya, kayaknya Allah memang sengaja arahkan saya ke lingkungan Islam terus,” ucapnya sambil tertawa kecil.
Awalnya, ia masih menolak. Tapi seiring waktu, ia mulai tertarik mengikuti kegiatan rohani Islam (Rohis) hanya karena rasa ingin tahu. Ia juga sering memperhatikan ceramah Jumat, dan diam-diam mulai memahami ajaran Islam sedikit demi sedikit.
“Setiap hari Jumat saya suka diem-diem ngintip ke masjid,” katanya. “Saya cuma pengin tahu kenapa orang Islam kalau dengar adzan atau khutbah bisa adem banget. Padahal saya cuma lihat dari jauh.”
Ketika Debat Menjadi Jalan Kebenaran
Salah satu hal yang membuat Stefanus semakin penasaran adalah debat dengan pembina rohani Kristen di sekolahnya. Setiap kali ia mengungkapkan pandangan yang mulai terbuka terhadap Islam, pembinanya marah.
“Katanya saya sudah dicuci otak,” ujar Stefanus. “Padahal nggak ada yang ngajak, nggak ada yang maksa. Saya sendiri yang nyari.”
Debat itu membuatnya semakin yakin untuk mencari kebenaran sejati. Ia mulai membaca Alkitab dengan cara yang berbeda bukan sekadar menghafal, tapi mencari makna yang logis. Salah satu ayat yang mengguncang hatinya adalah seruan ‘Eli Eli Lama Sabakhtani’ (Ya Allah, Ya Allah, mengapa Engkau meninggalkan Aku?).
“Di situ saya berpikir, kalau Yesus benar Tuhan, kenapa dia berdoa pada Tuhan yang lain? Siapa yang sebenarnya dia panggil?” ujarnya.
Pertanyaan itu menjadi titik balik. Ia tidak menemukan jawaban yang memuaskan dari pihak gereja, malah ditegur karena terlalu banyak bertanya. Tapi justru dari situlah pintu hatinya semakin terbuka.
Hidayah yang Tak Terbendung, Hidayah sebagai Mualaf
Ketika sudah duduk di bangku SMK, Stefanus mulai semakin dekat dengan kegiatan Islami. Ia terlibat dalam organisasi OSIS dan secara tak terduga terpilih menjadi Koordinator Bidang Keagamaan, posisi yang biasanya dipegang oleh siswa Muslim.
“Lucu ya, saya yang masih Kristen malah disuruh urus kegiatan keagamaan Islam,” ujarnya sambil tersenyum. “Tapi justru dari situ saya makin banyak belajar, makin sering ikut kegiatan Islam, makin paham esensi agamanya.”
Dalam salah satu acara 1 Muharram, ia merasa sangat tersentuh. Seusai kegiatan, seorang teman memeluknya dan mengucapkan, “Mas, semoga kamu segera diberi hidayah.” Saat itu, air matanya jatuh.
“Saya heran, kok mereka sayang banget sama saya, padahal saya bukan Islam,” katanya lirih. “Justru orang-orang Islam yang saya kira keras, malah paling lembut hatinya.”
Titik Kepastian: “Kamu Sudah Punya Kunci, Tinggal Masuk Pintu”
Puncak pencarian itu datang ketika ia bertemu seorang murobbi (mentor agama) dalam kegiatan mentoring sekolah. Dalam pertemuan itu, sang murobbi berbicara jujur:
“Kamu sudah punya kunci, tinggal buka pintunya. Jangan tunggu nanti. Nggak ada yang tahu kapan Allah ambil nyawa kita.”
Ucapan itu menancap dalam hatinya. Ia sadar, selama ini ia hanya menunda-nunda. Ia sudah mengenal Islam, mencintainya, tapi belum berani mengikrarkan secara resmi.
“Waktu itu saya langsung nangis. Saya takut mati dalam keadaan belum Muslim,” katanya.
Akhirnya, pada pertengahan kelas 2 SMK, dengan hati mantap dan air mata haru, Stefanus Hansen mengucapkan dua kalimat syahadat.
Ashhadu alla ilaha illallah, wa ashhadu anna Muhammadan rasulullah.
Saat itu pula, hidupnya berubah.
Dari Cibinong ke Astra: Lingkungan yang Menguatkan Iman Setelah Mualaf
Setelah menjadi mualaf, Stefanus menjalani praktik kerja lapangan (PKL) di sebuah perusahaan di bawah PT Astra Group di Bogor. Lingkungan kerja itu pun, tak disangka, Islami sekali.
“Padahal muka saya Chinese banget, tapi Allah tempatkan saya di tempat yang semua orangnya Muslim,” ujarnya sambil tersenyum.
Ia diajak ikut pengajian, belajar wudhu, shalat, bahkan teman-temannya mengajarkan zikir. Awalnya ia hanya diam mendengarkan, tapi lama-lama ia ikut juga. Dari situ, imannya semakin kuat dan istiqamah hingga sekarang.
Hidayah yang Tak Bisa Dipaksa
Kini, setelah lebih dari lima tahun menjadi Muslim, Stefanus Hansen tampil dengan ketenangan dan keikhlasan yang luar biasa. Ia memahami bahwa hidayah adalah hak prerogatif Allah, dan tidak semua orang mendapatkannya dengan cara mudah.
“Saya tidak diseret siapa pun ke Islam,” tuturnya. “Saya cuma dituntun oleh Allah melalui lagu, mimpi, dan orang-orang baik yang saya temui di jalan.”
Ia berpesan kepada para mualaf dan umat Islam yang baru belajar agama:
“Kalau Allah sudah kasih sinyal, jangan tunggu lama-lama. Karena yang tahu waktu kita cuma Allah. Gunakan kesempatan itu untuk mendekat pada-Nya.”
Pelajaran dari Kisah Mualaf Stefanus Hansen
- Hidayah bisa datang dari mana saja, bahkan dari lagu yang sederhana.
- Kejujuran dalam mencari kebenaran akan mengantarkan pada cahaya sejati.
- Tidak perlu takut bertanya, karena iman yang kuat lahir dari proses berpikir dan menemukan sendiri.
- Lingkungan yang baik adalah anugerah, karena dari sanalah iman tumbuh dengan istiqamah.
- Islam adalah agama kasih sayang, bukan paksaan sebagaimana dirasakan oleh Stefanus sejak awal perjalanannya.
Mualaf Center Nasional AYA SOFYA Indonesia Adalah Lembaga Sosial. Berdiri Untuk Semua Golongan. Membantu dan Advokasi Bagi Para Mualaf di Seluruh Indonesia. Dengan Founder Ust. Insan LS Mokoginta (Bapak Kristolog Nasional).
ANDA INGIN SUPPORT KAMI UNTUK GERAKAN DUKUNGAN BAGI MUALAF INDONESIA?
REKENING DONASI MUALAF CENTER NASIONAL AYA SOFYA INDONESIA
BANK MANDIRI 141-00-2243196-9
AN. MUALAF CENTER AYA SOFYA
SAKSIKAN Petualangan Dakwah Seru Kami Di Spesial Channel YouTube Kami:
MUALAF CENTER AYA SOFYA
MEDIA AYA SOFYA
Website: www.ayasofya.id
Facebook: Mualaf Center AYA SOFYA
YouTube: MUALAF CENTER AYA SOFYA
Instagram: @ayasofyaindonesia
Email: ayasofyaindonesia@gmail.com
HOTLINE:
+62 851-7301-0506 (Admin Center)
CHAT: wa.me/6285173010506
+62 8233-121-6100 (Ust. Ipung)
CHAT: wa.me/6282331216100
+62 8233-735-6361 (Ust. Fitroh)
CHAT: wa.me/6282337356361
ADDRESS:
MALANG: INSAN MOKOGINTA INSTITUTE, Puncak Buring Indah Blok Q8, Citra Garden, Kota Malang, Jawa Timur.
PURWOKERTO: RT.04/RW.01, Kel. Mersi, Kec. Purwokerto Timur., Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah
SIDOARJO: MASJID AYA SOFYA SIDOARJO, Pasar Wisata F2 No. 1, Kedensari, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.
SURABAYA: Purimas Regency B3 No. 57 B, Kec. Gn. Anyar, Kota SBY, Jawa Timur 60294.
TANGERANG: Jl. Villa Pamulang No.3 Blok CE 1, Pd. Benda, Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten 15416
BEKASI: Jl. Bambu Kuning IX No.78, RT.001/RW.002, Sepanjang Jaya, Kec. Rawalumbu, Kota Bks, Jawa Barat
DEPOK: Jl. Tugu Raya Jl. Klp. Dua Raya, Tugu, Kec. Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat 16451
BOGOR: Jl. Komp. Kehutanan Cikoneng No.15, Pagelaran, Kec. Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16610